Sebagai seorang Ibu, Bunda bisa merasakan jika sesuatu hal sedang terjadi pada anaknya. Malam itu, setelah Lino pamit untuk pergi seorang diri, anak tunggalnya itu tidak pulang diantar siapapun. Matanya sembab, hidungnya merah. Bunda tidak bisa memaksa, ketika Lino lebih memilih untuk mengurung diri didalam kamarnya. Sebagai orangtua, Bunda lebih memilih untuk menunggu anaknya siap bercerita.
Terhitung sudah tiga hari Lino hanya mengurung diri dikamar. Bahkan, untuk makan saja, Lino hanya mengambil makanan dan makan dikamar. Bunda tidak marah, sekali lagi ia berusaha untuk mengerti keadaan sang putra kesayangannya.
Hingga akhirnya, Chris datang kerumah hari ini. Dengan wajah yang cukup kacau dan berantakan.
"Bunda, Chris boleh ngomong sama ino?"
Bunda terdiam, namun kemudian menggeleng. "Ino udah tiga hari mengunci diri di kamar. Dia cuma keluar buat ambil makan dan itupun dia langsung masuk lagi ke kamar." Jawab Bunda, "sebenarnya, ada apa dengan kalian, Chris?"
"Ino mutusin Chris, Bunda." Jawab Chris, "Mama nggak setuju kalo Chris pacaran sama Ino."
Chris kira, Bunda akan marah padanya. Tapi, yang terjadi adalah Bunda mengusap lengan Chris lembut. "Bunda udah tau ini bakal kejadian. Beberapa bulan lalu, Mama kamu datang ke Bunda dan suruh Bunda buat bilang ke Ino biar kalian berdua putus. Tapi, Bunda menolak. Bunda bilang ini bukan hak Bunda buat menyampaikannya. Mama kamu, beneran nggak suka sama Ino, Chris. Bunda bisa lihat dari matanya."
Chris menunduk, "maafin Mama, Bunda. Chris nggak tau kalo mama bisa senekat itu dengan nyamperin Bunda dan bilang kayak gitu."
Bunda hanya mengangguk, "lepasin Ino ya, Nak? Sebagai seorang Ibu, jelas Bunda nggak mau anak semata wayang Bunda disakiti sama orang. Bunda dan Ayahnya mati-matian membahagiakan anak Bunda, dan Bunda nggak mau apa yang sudah kami usahakan dihancurkan sama orang lain."
"Tapi Chris cinta sama Ino, Bunda."
Bunda tersenyum, "Ino juga cinta sama kamu Chris. Tapi, berjalan tanpa restu orangtua bukan hal yang Ino sukai. Apalagi kalau nantinya kamu harus memilih antara Mama kamu atau Ino. Kamu bisa jadi nggak bersikap adil nantinya. Bunda cuma nggak mau, kalian berjalan dengan sia-sia nantinya."
Chris hanya menghela napasnya pelan, "Chris boleh titip surat buat Ino, Bunda? Nomor Chris di block sama Ino."
Sodoran amplop berwarna biru muda itu diterima Bunda, "nanti Bunda sampaikan."
"Terimakasih Bunda, Chris pulang dulu." Bunda hanya mengangguk ketika Chris pamit pulang.
Hatinya seakan terasa sakit melihat anaknya diperlakukan seperti itu. Tapi, Bunda juga tidak bisa menyalahkan siapapun disini.
Dengan langkah berat, ia berjalan menuju kamar putranya. Mengajak bicara dan mendengarkan seluruh keluhan sang anak bukan hal yang salah kan?
*** ** ***
"Akhirnyaaaaa! Yaampun kenapa nggak dari kemarin sih Mama ngizinin gue buat duluan pindah." Langit bermonolog sendiri. Sejak sepulangnya dari menonton, Langit langsung melancarkan aksi protes untuk duluan pindah ke rumah ini. Alasannya? Langit bilang ia sudah berkali-kali terlambat kuliah dan tidak diizinkan masuk kelas.
Awalnya, Langit kira ia tidak akan diizinkan oleh sang Mama. Tapi, ternyata sang mama memberikan izin dan membiarkannya untuk tinggal. Lagipula, sebentar lagi Mama dan juga Kakaknya akan pindah kesini. Tidak bersama sang Papa karena papanya masih sibuk untuk mengurus perusahaan sang kakek di London.
Langit sedang menyapu halaman depan ketika melihat sosok Chris yang berjalan lesu. Ck. Lelaki bodoh, gumam Langit.
"Loh, lo bukannya cowok yang waktu itu bajunya ketumpahan thai tea sama Ino ya?" Suara itu membuat Langit mengulas senyum sinisnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
You are my first Love (2Min)
FanfictionGimana kalau semisal kehadiran Langit, bisa jadi penawar sakit hati yang Lino alami? Layaknya ketika mereka masih kecil, Langit yang mati-matian bikin kesel Lino cuma karena mau Lino tau, apapun yang terjadi Langit akan tetap ada disisinya.