"Jadi ayah nggak pulang?" Suara Lino mulai bergetar. "Ayah udah janji mau pulang pas malam tahun baru, dan rayain bareng Bunda sama Ino!!"
Bunda mengusap kepala Lino lembut, sementara raut wajah sang ayah di sambungan video call tampak sedih. "Maafin Ayah ya, nak? Ayah janji akan pulang secepatnya."
Namun, Lino menggelengkan kepalanya, tampak tidak percaya. "Ayah waktu itu bilang mau pulang pas ulang tahun Ino, tapi kenyataannya Ayah nggak pulang. Terus, Ayah janji bakal rayain malam tahun baru sambil main kembang api sama Ino, tapi ujungnya Ayah nggak tepatin janji." Suara sang putra semata wayangnya semakin bergetar, ada isakan kecil disetiap kata yang keluar dari mulut Lino.
"Ino nggak boleh begitu sayang," Bunda berusaha membuat putranya tenang, "Ayah tuh kerja, harus jauh dari Bunda sama Ino, ditengah laut. Untuk apa? Cari uang yang banyak biar Ino bisa beli apa saja."
Lino menggeleng, "Ino nggak mau uang! Ino mau Ayah pulang!"
Bunda memeluk putranya, sementara wajah sang Ayah semakin khawatir. "Ino katanya mau sekolah sampai ke jenjang paling tinggi? Nah, Ayah cari uang biar bisa sekolahin Ino. Biar Ino bisa jadi anak cerdas dan pintar. Biar Ino bisa pilih sendiri mau sekolah dimana, dan Ayah dan Bunda bisa biayain sekolah Ino. Jadi, Ino nggak boleh ngomong begitu ya sama ayah?"
Lino masih terisak, malah semakin keras.
"Ino, anak ayah, maafin Ayah ya? Maaf kalo Ayah ingkar janji ke Ino. Tapi, setelah tugas Ayah yang ini, Ayah janji bakal ambil libur banyak-banyak buat sama Ino. Ya?"
"Nanti Ayah ajak Ino jalan-jalan? Ayah anterin Ino ke sekolah? Ayah jemput Ino ke sekolah dan tempat les?"
Wajah Ayahnya berubah jadi lebih sumringah, "Iya, nanti Ayah kabulkan apapun yang Ino minta. Maafin Ayah, ya?"
Lino akhirnya mengangguk, kemudian ia berdiri setelah sang Ayah bilang ia ingin berbicara dengan sang Bunda.
Langkah Lino berhenti, ia menaiki ayunan yang ada tepat didepan rumahnya. Matanya memandang rumah Shena—kakak sepupunya—yang ramai. Ada ayah dan ibunya Shena disana. Lalu, matanya menangkap sebuah potret lain, yaitu Chris, Ayen dan kedua orangtuanya.
"Kak Ino ngapain bengong disana?" Suara itu membuat Lino menoleh, mendapati Langit berjalan kearahnya dengan membawa sesuatu diplastik berwarna hitam.
"Pergi sana. Aku lagi nggak mau diusilin."
Langit hanya diam, "tapi aku nggak mau usilin kak Ino, aku mau ajak kak Ino main kembang api sama mas Bhanu juga."
"Nggak mau! Sana pergi!!" Jeritan Lino membuat Bunda keluar dari dalam rumah.
"Ino kenapa teriak kayak gitu?"
Lino menunjuk Langit, "suruh Langit pergi Bunda! Aku nggak mau main sama dia!"
Wajah Langit berubah pucat, terlebih saat melihat mata Lino yang menatapnya tajam.
"Langit maaf ya, Lino lagi ngambek sama Ayahnya karena nggak pulang. Makanya jadi cranky gini."
Langit mengangguk kemudian menyodorkan satu pack kembang api pada Lino. "Papa aku juga nggak sempet pulang, tapi aku tetep rayain tahun baru sama mama dan mas Bhanu. Aku nggak nangis atau marah, karena mama bilang Ayah disana bekerja dan itu buat kepentingan keluarga. Kalo kamu nggak mau main sama aku dan mas Bhanu nggak papa, itu aku kasih kembang api. Biar kamu bisa nyalain kembang apinya berdua sama Bunda."
Bunda tersenyum, tangannya masih mengusap kepala putra semata wayangnya.
"Kak Ino jangan sedih ya? Kak Ino boleh kok kesel sama aku, benci sama aku juga nggak papa. Tapi, jangan marah ke Ayah kak Ino. Soalnya, marah sama orangtua itu nggak baik." Tukas Langit, "Bunda, Langit pamit pulang dulu ya. Ditungguin sama mas Bhanu."
KAMU SEDANG MEMBACA
You are my first Love (2Min)
FanficGimana kalau semisal kehadiran Langit, bisa jadi penawar sakit hati yang Lino alami? Layaknya ketika mereka masih kecil, Langit yang mati-matian bikin kesel Lino cuma karena mau Lino tau, apapun yang terjadi Langit akan tetap ada disisinya.