"Lang, nganggur nggak?" Tanya Lino, ia baru saja membuka pintu kamar Langit. Tentu saja setelah dipersilakan oleh mama Langit.
Langit yang sedang duduk di meja belajarnya menoleh, besok adalah hari terakhir uas. Dan mata kuliahnya berjumlah 3 sks, maka dari itu Langit harus giat belajar.
"Lagi belajar kak, kenapa?"
Lino berjalan menghampiri Langit, kemudian meletakkan sebuah undangan dengan nama Langit dibagian penerimanya. "Ayen tadi kasih undangan ke gue, dia juga titip undangan buat lo"
Langit langsung mengambil undangan dan melihatnya. Kemudian ia menatap Lino dengan tatap datar.
"Mantan lo nikah, terus lo mau nangis disini?"
Lino yang sedang mencebikkan bibirnya menggeleng, "gue nggak akan nangis. Tapi, nggak tau, masih berat aja. Bego ya gue."
Langit menghela napasnya, kemudian menghampiri Lino. Merentangkan tangannya. "Sini gue peluk,"
"Gue nggak papa."
"It's okay kak Ino, nggak papa kalo lo mau nangis. Gue nggak akan ngomong apa-apa kok."
Lino hanya menggeleng, kemudian memeluk Langit erat. Tidak terdengar isak apapun, hanya Lino yang benar-benar memeluk Langit seerat yang di bisa.
"Kalo udah lega, nanti kasih tau gue ya. Apa yang mamanya kak Chris bilang sama lo."
Deg. Tubuh Lino menegang sempurna. Sia-sia ia berusaha menutupi ini dengan berbohong. Berpura-pura jika perasaannya terhadap Chris masih ada, masih terasa berat. Padahal, Chris sudah tidak lagi ia pikirkan.
"Tadi Ayen langsung nelfon gue, dia bilang dia mau kasih undangan ke lo, tapi Mamanya malah mau ngasih undangan itu langsung ke lo. Ngajak lo pergi juga." Usapan dibagian punggung Lino semakin intens. "Udah janji kan, nggak bakal rahasia sama gue?"
"Iya-iya." Sahut Lino dengan bibir yang masih mencebik.
"Mau diambilin minum sama cookies dulu nggak? Gue baru aja dikirimin cookies varian baru dari toko mamanya Lingga."
"Mau. Tapi nggak mau teh anget." Sahut Lino, "ada cola nggak?"
"Idih, kucing masa mau minum cola?" Goda Langit. Membuat tangan Lino yang tadinya memeluk Langit justru berubah memukul dada lelaki itu.
"Gue bukan kucing!"
Langit tertawa, "nah, kalo udah galak gini udah balik nih kak Ino nya. Yaudah, bentar ya? Gue ambilin dulu, tunggu sini jangan kemana-mana."
Setelah melihat Lino mengangguk, Langit mulai keluar dari kamarnya dan mengambil keinginan Lino.
Lino hanya menatap seisi kamar Langit, dan pada sudut kamar ia melihat sebuah bingkai yang berisikan foto dirinya dan Langit. Dengan wajah Langit yang tersenyum sumringah sementara Lino memasang wajah kesal dengan sembab dimatanya. Lino tersenyum, kalau tidak salah itu waktu perayaan ulangtahunnya yang ke tujuh. Langit berusia lima tahun. Lino ingat jika ia tidak ingin mengundang Langit, namun, ternyata Bunda malah mengundangnya.
Bingkai tersebut dihias banyak sticker lucu, dan Lino bisa melihat sebuah tulisan tangan disana.
W/ kak Ino kesayangan Langit ❤️
Perlahan hati Lino menghangat, begitu pula matanya. Namun, sekali lagi, sebuah suara langkah kaki membuat Lino buru-buru kembali ketempatnya semula.
"Nih, cola sama cookiesnya. Tapi, jangan kebanyakan ya? Gula semua itu."
"Huum."
Langit tersenyum, kemudian mengusap puncak kepala Lino. Seakan lelaki itu lebih tua darinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
You are my first Love (2Min)
Hayran KurguGimana kalau semisal kehadiran Langit, bisa jadi penawar sakit hati yang Lino alami? Layaknya ketika mereka masih kecil, Langit yang mati-matian bikin kesel Lino cuma karena mau Lino tau, apapun yang terjadi Langit akan tetap ada disisinya.