PROLOG

11 3 2
                                    

Pukul 16.30.

Seorang gadis dengan tas carrier di punggungnya tersenyum ketika melihat wanita yang berusia sekitar setengah abad menunggunya di seberang jalan. Begitulah, Hanin—bundanya itu selalu overprotective menjanganya. Alasannya, Nadira adalah putri satu-satunya yang sangat ia sayangi. Sebenarnya, Nadira harus berjuang mati-matian untuk mendapatkan ijin ke gunung, namun dengan segala bujukan dan rayuan akhirnya bundanya itu mengijinkan.

Nadira bisa memahami sikap bundanya itu, Ketika Nadira berusia 5 tahun, Hanin bercerai karena hal buruk yang telah suaminya lakukan. Tak heran, jika wanita itu selalu overprotective terhadap putrinya, karena hanya Nadira lah penyemangat hidupnya selama bertahun-tahun.

"Bunda, Nadira di sini," teriak gadis itu sambil tersenyum melambaikan tangan. Nadira hendak menyebrang, namun Bundanya itu memberikan isyarat agar ia saja yang mengampiri putrinya.

"Tunggu, Biar Bunda yang ke sana."

Nadira tersenyum, Bundanya menyebrangi jalan menhampiri putrinya. Namun ketika posisinya sudah dekat , sebuah mobil melaju sangat kencang.

BRUK

"BUNDAAAA!!!" Nadira berlari. Napas gadis itu memburu tatkala melihat orang yang disayanginya terkulai lemah dengan darah segar yang mengalir di sekitarnya.

Astagfirullahaladzim, kecelakaan

Innalillahi

Tempat yang tadinya sepi, kini penuh dengan kerumunan orang. Gadis itu bersimpuh di samping bundanya dengan bercucuran air mata. Wajahnya memerah menahan semua rasa sakit yang berkecamuk.

"Bunda, hiks hiks," Dira terus menangis.

"Hei Mas! Keluar tanggung jawab!" teriak salah seorang warga mengetok jendela mobil yang menabrak tadi.

Tak lama kemudian, keluar laki-laki dengan wajah kusutnya. Rambutnya berantakan menunjukkan bahwa ia sedang frustasi akibat kejadian tak terduga yang baru saja terjadi. Dengan segera ia meraih benda pipih di sampingnya dan menghubungi ambulans.

"Baik-baik pak, tenang. Saya akan tanggung jawab. Saya sudah menelpon ambulan dan segera datang," ucap laki-laki tersebut.

Selang beberapa menit, terdengar sirine ambulans yang mendekat. Lelaki itu cekatan membantu para medis untuk memindahkan korban ke dalam ambulans, kemudian meminta bantuan salah satu warga untuk membawa mobilnya mengikuti ambulans. Sedangkan laki-laki itu ikut dalam ambulans bertanggung jawab atas apa yang telah ia perbuat.

"Bunda, jangan tinggalin Nadira. Nadira janji gak akan nakal lagi, gak akan ngotot buat ke gunung lagi. Maafkan Dira hiks hiks."

Laki-laki itu melihat Dira dengan perasaan bersalah.

"Dira, jangan me-nangis sa-sayang, ma-af Bunda nggak bisa ne-me-nin Dira sampai akhir," ucap Hanin terbata-bata.

Nadira menggeleng. "Nggak! Bunda nggak akan kemana-mana. Bunda akan terus bersama Dira hiks hiks."

Hanin tersenyum, walaupun rasa sakit sudah menjalar ke seluruh tubuhnya. Wanita itu mengarahkan tangannya yang bergetar mengusap lembut air mata putrinya. "Ja-jangan me-nangis sa-yang."

Hanin beralih menatap laki-laki muda di sampingnya. "Bo-leh saya mi-minta sesuatu?"

Laki-laki itu mengangguk pelan sembari menggenggam erat tangan Hanin yang sudah sedingin es. Mata laki-laki itu tampak merah menahan tangis juga rasa bersalah yang membuncah di dadanya.

"Maafkan saya hiks hiks, Andai saat itu saya tidak ngebut ini semua tidak akan terjadi." Pecah sudah pertahanan laki-laki itu.

Lagi-lagi Hanin tersenyum. "I-ini sudah takdir Allah, Nak. Nyawa saya ti-dak ba-nyak. To-long ja-ga putri saya. To-long lindungi dia se-sebagaimana sa-saya melindunginya."

"Nggak Bunda! Dira gak akan dijaga oleh siapapun selain Bunda, hiks hiks."

Tangis laki-laki itu semakin menjadi, sejenak ia menatap Nadira kemudian menunduk. "Sa-ya tidak bisa Bu, maaf."

Semua Tak SamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang