Caroline Stevany, name tag yang terpasang pada seragam berwarna navy itu nampak terpasang begitu rapi sejak pagi tadi. Si pemilik nama kini sedang menikmati sarapan simpel yang ia buat sendiri. Masih ada satu jam tersisa sebelum ia harus segera tiba di pabrik tempat ia bekerja di Melbourne.
"Apa hari ini kamu akan pulang terlambat lagi, Stev?" Sebuah suara berat mengagetkan Stevany yang asyik melahap telur mata sapi dan salad sayur favoritnya.
Nenek Chloe yang tiga tahun ini tinggal bersama Stev nampak baru bangun dan menghampiri cucu kesayangannya. Ia mengelus rambut Stevany yang panjang dan ikal.
"Sepertinya begitu, Nenek, saat memasuki musim dingin seperti ini pabrik akan bekerja ekstra karena stok gudang mulai menipis," sahut Stev jujur.
"Hmmm, baiklah kalo begitu sepertinya Nenek akan menghabiskan waktu dengan teman-teman komunitas lagi hari ini." Nenek Chloe menghampiri sofa di seberang Stevany dan duduk perlahan.
Stev memandang Neneknya dengan takjub, meski usia Nenek Chloe sudah tak lagi muda namun ia beruntung memiliki Nenek yang masih aktif dengan berbagai kegiatan. Mungkin itulah sebabnya Stevany pun termasuk anak yang tak bisa diam.
"Oiya, Nenek belum bercerita soal komunitas itu."
"Tak ada yang seru, Stev, hanya kumpulan orang-orang jompo yang berbagi kreatifitas dan berbagi ilmu."
"Tentu saja seru, Nek! Seusia Nenek jarang-jarang ada yang masih aktif dalam kegiatan sosial, aku bangga sama Nenek," tukas Stevany seraya menghabiskan suapan terakhirnya.
Nenek Chloe mengibaskan tangannya malu dan tersenyum simpul. Sejak Stevany datang menemaninya tiga tahun yang lalu semangat hidupnya kembali berkobar. Cucu yang selama ini terpisah benua sejak ia berusia 10 tahun kini kembali ke sisinya lagi.
"Oiya semalam Papa telefon, kata Papa jangan lupa vitamin dan obat Nenek diminum tiap hari, terus makannya—"
"Ahh kalian berdua itu sama saja, selalu menganggap Nenek seperti bayi!"
Stevany tertawa, ia berdiri dan membawa mangkuk kosongnya ke sink lantas mencucinya hingga bersih. Ia harus segera berangkat karena keretanya akan tiba 15 menit lagi.
Sambil menarik tas ransel kecilnya, Stevany menghampiri Nenek Chloe dan mencium pipinya."Cucu Nenek Chloe yang cantik berangkat kerja dulu yaaa, jangan lupa vita—"
"Cepatlah berangkat anak bawel!!" tukas Nenek Chloe kesal, melihat cucunya tertawa riang membuat senyumnya tersungging.
"Bye, Nek! Jangan lupa nanti kunci pintunya, aku sudah bawa kunci cadangan di tas."
Nenek Chloe melotot gemas, Stev tertawa lagi dan lekas berlari keluar dari rumah mungil milik Neneknya. Ia paling suka menggoda Neneknya itu, selain agar Neneknya tak murung juga Stevany ingin nampak baik-baik saja di depan orang lain.
Setiba di stasiun kota, kereta tiba tak lama setelah Stevany menunggu sambil memasang headsetnya. Rutinitas hariannya dimulai dan akan berakhir pada jam 10 malam nanti.
Tiga tahun yang lalu, Stevany tiba di Melbourne dengan hati yang porak poranda. Pada akhirnya dia menerima tawaran pekerjaan yang tadinya ingin ia batalkan. Ia pergi meninggalkan negeri yang membuat hidupnya hancur. Bukan ide yang buruk untuk terbang ke Melbourne dan tinggal bersama Neneknya. Setidaknya di sini Stevany bisa hidup tenang karena tak lagi harus bertemu dengan lelaki itu. Lelaki yang menghancurkan impiannya untuk tetap menjadi perawan bagi suaminya kelak.
Jarak pabrik dari stasiun tak begitu jauh, Stevany hanya perlu berjalan kaki 10 menit. Di pabrik pengalengan ikan, Stevany bekerja sebagai Manager Logistic and Warehouse. Ia bertugas mengawasi dan memastikan stok bahan pengemas dan bahan pembantu, serta mengatur penempatan dan distribusi. Menjelang musim dingin seperti ini tugas Stevany semakin banyak namun ia bersyukur karena dengan begitu tak ada waktu lowong baginya untuk melamun.
Tepat jam 10 malam Stevany telah menyelesikan pekerjaannya. Ia bergegas merapikan kertas kertas di mejanya dan mematikan komputer. Kereta akan tiba 10 menit lagi dan itu berarti ia harus sampai ke sana secepat mungkin. Ia tak ingin terlambat sampai di rumah, Neneknya pasti tak akan tidur sebelum ia tiba dan akan pura-pura tidur saat Stevany datang.
Jangan ragukan keahlian Stevany dalam berlari, ia tiba tepat sebelum kereta datang. Keahlian sudah teruji sejak tiba di kota ini dan semakin terasah di jam-jam kritis seperti sekarang.
"Hay, Stev."
Stevany menoleh cepat ke asal suara yang mengagetkannya. Seorang lelaki tinggi besar tiba-tiba muncul dan duduk di sampingnya.
"Oh hai, Jared, lembur lagi?" sahut Stev lugas.
Lelaki bernama Jared itu tersenyum dan mengangguk. "Apa lagi yang bisa dilakukan pria kesepian sepertiku, di rumah tak ada yang menanti kepulanganku jadi lembur adalah satu-satunya pilihan agar aku tak sendirian di rumah."
Stevany tersenyum, mungkin itu juga alasannya lebih banyak menghabiskan waktu dengan bekerja daripada diam di rumah.
"Jared, bisakah kamu memberi alasan lain? Aku selalu mendengar alasan itu setiap bertanya hal yang sama."
Jared menolehi Stevany dan tersenyum kecil. "Stevany, bisakah kamu bertanya hal lain? Setiap melihatku kamu selalu bertanya hal yang sama."
Stevany tertawa, dalam seminggu ia bisa bertemu Jared di kereta yang sama hingga 4x tiap pulang bekerja. Jared bekerja di pabrik roti beberapa blok dari pabrik pengalengan ikan tempat Stevany bekerja.
"Jawabanmu memberiku kode agar mengasihani dirimu Jared, tak bisakah kamu sedikit menaikkan harga dirimu di hadapan wanita sepertiku?" goda Stevany terkekeh.
"Sepertinya kita memiliki background yang sama, Stev. Bagaimana kalau kita berdamai dan mencoba untuk lebih saling mengenal satu sama lain?" sahut Jared tegas, membuat tawa Stevany tiba-tiba pudar.
"Aku serius Stev, 6 bulan kita sering bertemu di kereta malam yang sama, tak bisakah kamu berpikir bahwa mungkin kita berjodoh?"
Tawa Stevany lepas lagi, ia mengawasi Jared yang hanya ia anggap sebagai seorang kakak. Mungkin usianya 3 atau 4 tahun di atas Stevany dan dia sama sekali bukan tipe pria idamannya. Penampilan Jared berantakan dengan kumis tipis dan jambang yang lumayan lebat bila tak ia cukur setiap hari. Sama sekali tak menarik di matanya.
"Stop it, Jared, kamu membuat perutku yang lapar semakin kelaparan!" sahut Stevany asal.
Jared terkekeh dan menarik tas ranselnya ke depan, ia mengeluarkan sesuatu lantas memberikannya pada Stevany. Sebungkus Roti yang masih hangat.
"Makanlah, barangkali dengan begitu perutmu bisa sedikit tergoda oleh pesonaku." Jared meletakkan roti itu di pangkuan Stevany sebelum kemudian ia memasang airpods di telinganya dan memejamkan mata.
Stevany menatap roti hangat di pangkuannya dan menolehi Jared yang sudah terpejam. Perjalanan masih 1 jam lagi dan perutnya benar-benar keroncongan. Ragu ia meraih roti itu dan memakannya sedikit demi sedikit. Setidaknya rejeki tak boleh ditolak bukan??
KAMU SEDANG MEMBACA
Please, Be Mine!
RomantizmSetelah hampir separuh usianya mencintai Brisya, mampukah Aji mencintai wanita lain setelah takdir tak menyatukan cintanya? Merelakan Brisya hidup bahagia dengan lelaki pilihannya adalah fase paling menyakitkan bagi Aji. Hidupnya yang mononton sejak...