Shadow

4 1 0
                                    

Aji tiba di Jakarta di sore hari, Zunita menjemputnya di bandara dan langsung membawanya ke rumah induk.

Sesampai di rumah Papa dan Mamanya, Aji langsung ijin untuk beristirahat. Sepertinya tensi darahnya turun, peningnya datang dan pergi silih berganti. Ia meminta Zunita menghubungi dokter Jessica untuk datang memeriksa keadaannya.

Entah karena terlalu lelah saat Dokter Jessica datang dan memeriksa Aji, ia sama sekali tak bangun dari tidurnya. Dokter Jessica memberi beberapa obat pada Sofia -Mama Aji-, dan meminta Aji segera makan sebelum meminum obat tersebut. Namun hingga esok pagi ternyata Aji belum juga bangun. Ia terlampau lelah dengan berbagai masalah pekerjaan dan masalah pribadinya.

"Selamat pagi," sapa suara Zunita yang ternyata sudah muncul dari balik pintu.

Aji menolehinya lemas dan tak bergeming. Keadaannya masih belum membaik.

Zunita nampak membawa sebuah nampan berisi makanan dan teh hangat. Ia meletakkan nampan itu di meja nakas di samping tempat tidur Aji.

"Dokter Jessica semalam sudah datang ke sini tapi rupanya kamu terlalu lelap tidur," ucap Zunita singkat seraya bersedekap.

Aji beringsut duduk dengan bertopang pada kedua tangannya dan bersandar di headboard tempat tidurnya. Ia meraih gelas berisi teh yang masih mengebulkan asap itu dan meminumnya perlahan.

"Bagaimana persiapan pernikahanmu?" tanya Aji penasaran.

Zunita menghembuskan napasnya perlahan dan duduk di samping ranjang Tuan mudanya.

"Terlalu banyak yang perlu dicek, difitting dan dicicipi, aku mulai muak."

Aji terkekeh dan meletakkan gelasnya. "Memangnya kalian sudah mantap mau menikah?"

Zunita menolehi Aji cepat. "Lalu aku harus mengikuti jejakmu menjadi manusia paling kesepian di dunia begitu?"

"Aku tidak kesepian, aku hanya sibuk dengan pekerjaanku."

"Ya ya yaaa, pekerjaan yang membuat rumah tanggamu berantakan!" seloroh Zunita cepat.

Aji terdiam, apakah salah bila ia terlampau sibuk? Toh dulu itu semua ia lakukan untuk kebaikan Brisya.

"Jangan membuat keyakinanku goyah, Ji. Lebih baik kamu mulai menata hatimu lagi agar tidak berlama-lama merasakan kesepian!" sungut Zunita seraya berdiri dan bersiap untuk pergi.
"Oh iya, Mami menunggumu di bawah, segeralah turun sebelum Mami yang naik kemari dan mengobrak-abrik kamarmu!"

********************

"Jangan memaksaku, Maaaa!"

"Mama tidak memaksa, Mama hanya sedikit meminta padamu untuk datang menemui Nenekmu. Itu saja!" Sofia nampak bersitegang di ruang keluarga.

"Aku akan datang ke sana membawa calon istriku nanti."

"Ohya? Apakah sudah ada calonnya??"

Aji menggeleng ragu, Sofia menarik nafasnya menahan sabar.

"Berangkatlah, Nak, ambillah cuti barang seminggu dua minggu, biar Papamu yang menggantikan pekerjaanmu sementara waktu, Mama yakin setelah pulang kemari kamu akan merasa lebih baik."

"I'm oke, Ma, aku baik-baik aja. Lagian aku sudah sering traveling ke luar negeri, kan!" tukas Aji mulai kesal.

"Betul, tapi apa pernah kamu mengunjungi Nenek dan keluarga Papamu disana? Mereka menunggumu, Aji."

Aji menundukkan kepalanya sedih, memori terakhirnya saat pergi ke Sidney adalah ketika ia masih bersama Brisya. 3-4 tahun yang lalu ketika ia masih menjadi laki-laki paling beruntung yang memilikinya. Sebelum kemudian saat pulang dari Sidney, Aji menyadari bila hati Brisya ternyata bukan miliknya.

"Baiklah, aku akan berangkat, tapi dengan satu syarat, bila aku tidak pulang dalam 2 minggu maka Papa dan Mama harus menjemputku ke Sidney!"

Wajah Sofia seketika berbinar mendengar ucapan putranya.
"Tentu, tak masalah. Mama dan Papa akan menjemputmu pulang bila Nenek tak mengijinkanmu kembali ke Indonesia."

Aji menghembuskan napasnya lega, tak ada salahnya mengikuti saran Mamanya untuk beristirahat sejenak dari rutinitas. Mungkin di sana Aji akan bertemu gadis bule yang bisa menggoyahkan hatinya dan menggantikan Brisya.

"Lusa Mama akan siapkan keberangkatanmu ya, Nenek dan Tantemu pasti senang mendengar kabar ini."

Aji menganggguk pasrah dan menarik mamanya agar mendekat ke tempatnya duduk. Aji ingin memeluk mama sebentar saja, ia butuh pelukan hangat.

"Maaf bila Mama harus memaksamu seperti ini, Nak, Mama hanya takut kesibukanmu membuatmu semakin kehilangan jati dirimu yang sebenarnya." Sofia mengelus punggung Aji dengan lembut.

Aji tak menyahut, ia memejamkan matanya dan menikmati wangi tubuh Mamanya yang khas dan selalu jadi favoritnya sejak masih kecil. Tiga tahun ini ia telah melalui masa yang sulit, tak ada pelukan hangat yang selalu bisa membuatnya tenang. Tak ada senyuman lembut yang memberinya semangat di kala ia lelah dengan kesibukan pekerjaan.

"Oh iya, apa kabar twins?" tanya Sofia membuyarkan lamunan Aji.

"Baik, Mama tahu nggak, Nia sekarang tambah cerewet! Persis Mama!"

Sofia tertawa, ia mencubit lengan Aji dengan gemas. Meskipun perpisahan putranya telah menghancurkan impiannya untuk memiliki cucu, namun ternyata Brisya yang pengertian tak pernah sekalipun menjauhkan twins dari mereka. Twins memang bukan darah daging Aji, namun semasa di kandungan hanya dialah yang menemani Brisya kala itu. Sofia bersyukur, ia masih bisa bertemu twins sesekali. Ia sudah menganggap mereka berdua adalah cucu kandungnya sendiri.

"Noa gimana? Mama kangen sama mereka. Kapan ya Brisya main ke kota lagi?"

"Noa tambah gembul, persis Papa! Hahaha ..." tawa Aji menggelegar.

Tanpa sadar Sofia ikut tertawa melihat putranya bahagia ketika membahas twins.

"Coba kamu telefon Brisya! Mama pengen lihat cucu Mama," pinta Sofia seraya meraih ponselnya di meja dan memberikannya pada Aji.

"Kenapa aku? Mama aja deh! Aku jarang hubungi Brisya kalo bukan dia telefon duluan," elak Aji keberatan.

Sofia mengernyit, namun detik berikutnya ia mulai mencari nomor kontak Brisya dan menghubunginya. Panggilan Video Call tersambung. Cukup lama panggilan itu berdering sebelum kemudian seraut wajah batita muncul di layar.

"Aoooo, Oma!!"

Please, Be Mine!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang