Bekerja dalam keadaan tidak enak badan membuat Aji kehilangan fokus. Sejak tadi pagi tiba-tiba badannya meriang, sendi-sendi di tubuhnya terasa sakit saat bergerak. Namun karena sudah ada janji untuk meeting dengan karyawannya di luar kota maka Aji memaksakan diri untuk tetap berangkat. Kali ini ia memilih untuk naik pesawat agar tidak perlu menyetir melintasi ibukota, Aji akan memanfaatkan waktu selama berada di pesawat untuk beristirahat.
Setiba di kota tujuan, Aji meminta staf di restoran untuk menjemputnya di bandara. Aji benar-benar sedang tidak sehat kali ini.
"Selamat siang, Pak Aji!" sapa karyawannya sopan saat Aji masuk ke dalam mobil.
"Siang, Pak Tino," sahut Aji seraya menyunggingkan senyumnya yang mahal.
Mobil melaju perlahan keluar dari bandara. Aji kembali memejamkan matanya yang terasa panas, meski sempat tertidur sebentar di pesawat namun rasanya seluruh tubuhnya masih saja lemas tak bertenaga.
Ponsel di saku celana Aji bergetar, ia merogoh ponselnya perlahan dan membuka mata sedikit untuk melihat nama yang muncul di layar.
Zunita is calling ...
"Ya , Zun."
"Kamu lagi di mana?" sosor Zunita cepat.
Aji menghembuskan napasnya pelan.
"Lagi di Jogja, ada apa?""Mami pengen ngobrol sama kamu, hal penting katanya. Kalo sudah balik ke Jakarta segera mampir ke rumah, ya!"
Aji membuka matanya lemah.
"Oke, baik," sahut Aji sebelum kemudian memutuskan sambungan telefonnya.Sudah bisa ditebak sepertinya Mama akan merayunya untuk berlibur ke tempat Neneknya. Selama Aji traveling ke luar negeri memang tak sekalipun Aji mengunjungi Neneknya itu, bahkan mungkin terakhir kali Aji ke sana sekitar 3 tahun yang lalu. Bukan Aji tak mau mengunjunginya tetapi bila sudah berada di sana maka Aji tak akan di ijinkan pulang cepat. Setidaknya ia harus berada di sana selama sebulan dan itu berarti Aji harus meninggalkan pekerjaannya, sehari ditinggal saja sudah banyak pekerjaan yang harus ia selesaikan apalagi sebulan, bisa-bisa Aji menghabiskan waktu setahun bekerja tanpa libur untuk menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan yang menumpuk.
"Pak Aji mau bermalam? Mau saya bokingkan hotel biasanya??" Pak Tino tiba-tiba bersuara.
Aji menoleh keluar jendela mobil, ia melewati hotel tempatnya dulu sering menginap. Tapi sejak kejadian dengan Stevany, Aji tak lagi mau menginap di hotel itu. Dan entah mengapa tiba tiba Aji rindu menginap di sana.
"Pesankan saya satu kamar di hotel yang baru saja kita lewati, Pak Tino!" ucap Aji sumbang.
Pak Tino tak menyahut, ia melirik Aji dari spion tengah. Apa ia tak salah dengar? Dulu karyawan lain pernah membokingkan kamar untuk Aji di hotel itu dan berakhir dipecat olehnya. Karyawan itu tak tahu bila Aji memiliki kenangan yang buruk di sana. Egois memang namun entah mengapa Aji tak menyesal sedikitpun sudah memecat karyawan itu.
"Yakin, Pak??" tanya Pak Tino terheran-heran, sudah lama sekali bosnya ini tak pernah menginap lagi di sana.
"Yakin, pesenkan saja sesuai yang saya perintahkan."
*************
Sesampai di hotel usai menyelesaikan semua meeting dan pekerjaan yang tersisa, Aji langsung meringkuk di bawah selimut. Sepertinya ia butuh istirahat yang berkualitas, belakangan ini jam tidurnya kacau. Terlebih jam makannya yang tidak teratur. Tidak mati dan penyakitan saja sudah untung bagi Aji.
Entah sudah berapa lama ia terlelap, rasa lapar di perutnya yang semakin menjadi-jadi membuat Aji terpaksa harus bangun. Aji menarik ponselnya di nakas untuk melihat jam di layar. Pukul 23.50, itu berarti sudah 6 jam Aji tertidur.
Aji memutuskan untuk turun dan mencari makan di luar hotel. Ia butuh udara segar untuk menenangkan pikiran dan tubuhnya.
Saat keluar dari lobi hotel, sekilas Aji terpaku menatap Restoran yang berada di seberang jalan. Restoran itu sudah tutup karena sudah larut malam namun Aji seolah melihat masa lalunya ketika Restoran itu masih buka dan ia duduk di sana, bersama gadis yang saat menatap Aji kedua matanya selalu berbinar dan berkilauan. Gadis yang ia renggut keperawanannya dan ia tinggalkan begitu saja. Aji menghembuskan nafasnya berat dan kembali melangkah mencari warung kaki lima yang masih buka di jam malam seperti ini.*********************
Keesokan paginya, Aji merasa tubuhnya sedikit lebih baik. Entah mengapa tiba-tiba ia berfikir untuk mencari keberadaan Stevany yang tiba-tiba saja menghilang bak ditelan bumi. Sepertinya Aji harus meminta maaf atas kesalahannya di masa lalu karena sudah melibatkan Stevany kedalam kehidupan rumah tangganya. Ia berjanji akan membayar ganti rugi berapapun yang gadis itu inginkan sebagai imbalan atas keperawanan yg sudah Aji renggut. Mungkin setelah itu Aji bisa hidup tenang dan tidak merasa bersalah lagi.
"Pak Aji, ini berkas yang Bapak minta." Seorang staf m muncul di hadapan Aji dan mengagetkannya.
Aji mengawasi map biru yang ia terima, "Terima kasih, Jeslin."
"Apa ada lagi yang bisa saya bantu, Pak?"
Aji menggeleng lemah. "Tidak ada, terima kasih banyak."
Lama Aji menatap map itu sebelum kemudian ia membukanya dengan jantung berdebar. Sebuah lembaran kertas berisi CV dengan foto berukuran 4x6 membuat Aji menahan nafasnya bimbang. Seorang gadis yang sempat ia kenal baik nampak tersenyum sangat ramah di foto itu. Sorotan matanya yang teduh dan tajam membuat Aji tersenyum simpul, ada sosok Brisya namun dalam versi berbeda di diri Stevany. Bila Aji memuja Brisya, namun sepertinya berkebalikan dengan Stevany yang justru sangat memuja Aji.
Aji memperhatikan dengan seksama isi dari CV milik Stevany. Nama lengkapnya Caroline Stevany, dan oh, ternyata usianya terpaut 4 tahun dengan Aji. Di usia muda namun Stevany sudah menjabat sebagai kepala Logistic di Restoran, Aji memperhatikan lagi tahun kelulusan sarjana Stevany, 2,5 tahun? Apa dia gadis jenius?? Tapi mengapa ia bekerja di restoran ini? Apa dia tidak salah tempat??
Aji membaca lagi isi CV dan mencatat alamat yang bisa menjadi petunjuk, juga mencoba menghubungi nomor ponsel yang tertera.Dengan jantung yang masih berdebar Aji mendekatkan ponselnya ke telinga.
"Nomor yang anda hubungi sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan, silahkan—"
Aji memejamkan matanya kesal, apa gadis itu mengganti nomor ponselnya? Sialan!!
Masih dengan rasa kesal yang membuat kepalanya berdenyut, Aji lekas berdiri dan membawa kertas note yang berisi alamat itu pergi. Ia meminta Pak Tino menemaninya mencari alamat Stevany."Kalo menurut alamat yang tercantum sih sepertinya itu rumah kos, Pak,l. Ini di depan gang memang ada rumah kos besar, tapi kita cari tahu dulu saja, ya?" cerocos Pak Tino berapi-api, Aji lebih banyak diam dan memperhatikan jalan yang mulai menyempit.
Bila benar itu adalah rumah kos maka pudarlah sudah harapan Aji untuk bertemu gadis menyebalkan itu. Dan saat Pak Tino berhenti tepat di sebuah rumah besar bertuliskan "Rumah Kos khusus perempuan", Aji mencocokkan nomor rumah itu dengan catatan di tangannya. Dan sialnya, nomornya sama!
"Biar saya tanyakan ke dalam ya, Pak? Pak Aji tunggu di mobil saja." Pak Tino keluar dari mobil dan masuk ke dalam rumah kos 2 lantai itu.
Aji menunggu dengan harap-harap cemas, sesekali ia membuka dan menutup kaca mobil dengan perasaan campur aduk untuk menghilangkan rasa groginya. Semoga saja Stevany masih tinggal di rumah itu.
Cukup lama Aji menunggu hingga kemudian Pak Tino muncul dan masuk kembali ke dalam mobil dengan raut wajah letih.
"Gimana, Pak?"
"Kata Ibu Kosnya tadi, Mbak Stev sudah pindah sejak tiga tahun yang lalu, Pak."
Aji menghembuskan nafasnya lelah, ia memejamkan mata sekejap.
"Yaudah anter saya balik ke hotel, Pak, saya harus cek out siang ini dan segera kembali ke Jakarta."

KAMU SEDANG MEMBACA
Please, Be Mine!
RomanceSetelah hampir separuh usianya mencintai Brisya, mampukah Aji mencintai wanita lain setelah takdir tak menyatukan cintanya? Merelakan Brisya hidup bahagia dengan lelaki pilihannya adalah fase paling menyakitkan bagi Aji. Hidupnya yang mononton sejak...