Langkah gontai menjadi cerminan semangat puluhan yang hadir di sekolah hari itu, tidak semuanya, tapi banyak.
Hingga bel sekolah berdentang menarik kembali jiwa mereka yang melayang. Langkah yang tadi lemas kini menunjukan kecepatan terbaiknya, membuat arus penuh murid-murid bergelimpungan berlari ke berbagai arah mencari kelasnya masing-masing.Seperti yang sudah-sudah, mereka berjalan memasuki ruang kelas yang sama, tapi berpencar mencari bangku yang berbeda. Sunwoo langsung melengos malas menaruh kepalanya agak kasar sesaat setelah tiba di bangkunya, pojok kiri kelas. Matanya mengantuk. Masuk dalam hitungan murid yang melahap sempurna jatah tidurnya karena menunda tugas.
Terpaut jauh dengan Haknyeon di sisi lain kelas, mepet tembok kanan dengan urutan nomor dua dari belakang, tepat di samping jendela ia sudah mengeluarkan novel bacaannya.Tapi akal Haknyeon pagi ini sepertinya menolak untuk mengikuti rutinitas membaca bukunya.
Bahkan karangan penulis idolanya tidak mampu mengalihkan kembali pikirannya. Ini tidak biasa.
Novelnya ia banting begitu saja di atas bangkunya, menimbulkan suara bantingan antara sampul dan kayu yang cukup keras terdengar di tengah-tengah bisingnya kelas. Termasuk Sunwoo dari tempatnya duduk terusik dengan aksi Haknyeon."Ada apa denganmu hari ini, Haknyeon?" Itu suara teman di depannya yang sempat terlonjak kaget gara-gara ia membanting novel barusan.
Haknyeon mengerang frustasi mengacak kasar rambutnya, "Entahlah, pikiranku aneh hari ini"
"Aneh bagaimana?" Temannya-- Haechan membalikan badan, mengernyit sebelah alisnya.
"Aku tidak bisa fokus, bahkan pada novelku!"
"Memangnya apa sih yang kau pikirkan?"
Haknyeon terdiam. Mana mau ia mengakui jika memori setelah hujan kemarin menghantuinya. Maka ia memutar akal agar Haechan tidak jadi curiga.
Yang ia lupa adalah akalnya sedang terbalik."Haechan, apa kau pernah jatuh cinta?"
"A--"
"Hei! Hei! Cepat kembali ke tempat dudukmu! Guru sudah datang!" Sahut murid lainnya mengambil kesempatan Haechan untuk menjawab Haknyeon. Haechan cepat-cepat berbalik, membenahi bangkunya dan sepayah mungkin agar tak terlihat skeptis, menghindari pandangan sangsi dari guru.
Haknyeon menghela lega, setidaknya untuk sekarang. Mungkin satu-satunya yang perlu ia lakukan nanti adalah memencilkan diri dari Haechan saat jam istirahat di kantin.
Jam pelajaran bahasa inggris berjalan tanpa satupun isinya menempel di otak Haknyeon. Ia masih terbayang-bayang kejadian semalam.
Bukan Sunwoo. Haknyeon lebih cemas soal perasaannya sendiri. Kenapa akhir-akhir rasanya girang sekali ada di sisi Sunwoo?
Rasa semangat itu sampai berubah jadi rasa gugup saking ruahnya.
Apalagi ketika Sunwoo memandangnya kemarin, rasanya berbeda. Jika ditanya sebetulnya ia tidak tega berpaling dari ain Sunwoo, tapi di sisi lain debaran jantungnya juga tak akan tahan jika harus terus memompa darahnya yang berdesir biut gawat.Sialnya, mereka sedang bertatapan sekarang.
Ketika seluruh perhatian kelas tidak pada mereka, dunia malah terasa berpusat diantara keduanya. Sunwoo menatap Haknyeon lamat, tepat di mata. Hening seakan ikut menyapu eksistensi lainnya yang mengganggu disana, menyisakan mereka nan bahkan setelah beberapa kali mengerjap belum ada yang mau memutus ikatan dua pasang netra berpangkat.Entah sejak kapan mereka mulai terlihat canggung, seperti orang asing yang tak sengaja kau ajak bertatapan di pinggir jalan, yang tak sengaja membuatmu malu karena melihat matanya terlalu lama. Padahal semua orang juga tahu pertemanan mereka sudah lama terjalin.
Roda waktu rasanya seperti berhenti berjalan. Mereka sadar, namun gengsi mengungkap. Percayalah, mereka tahu apa yang terjadi ketika jantung keduanya mulai berdegup dua kali lipat lebih cepat dari biasanya, mereka tahu apa yang terjadi ketika mereka memalingkan wajah hanya karena tidak ingin yang lain tahu wajahnya sedang merah padam sekarang, mereka tahu apa yang ada dalam tatapan itu meski akan bertanya lagi setelahnya.
Tatapan yang padat arti namun juga keraguan.
Tatapan yang memancarkan warna-warni manis baru yang masih abstrak berantakan, pelik untuk diurai.
Tatapan yang...
"Kenapa kau menatapku seperti itu tadi?" Sunwoo bertanya saat dering bel pertanda pulang nyaring mengisi lorong sekolah.
"Kau juga kenapa melihatku sebegitunya tadi? Kau duluan yang memulai malah sebelum aku menoleh ke belakang" _Skakmat_
"A-aku hanya memastikan bahwa kau sudah benar-benar pulih!"
Sunwoo bodoh. Harusnya tidak usah dibahas."Baguslah! Karena aku juga sedang memastikan sesuatu tadi..."
Haknyeon beralih memandang sepatunya, menunduk."Memastikan apa?"
Dahi Sunwoo terlipat, memandang Haknyeon serius."Eh... A-ah! Tidak tahu! Pokoknya lupakan apa yang barusan ku katakan!"
Haknyeon tiba-tiba seperti tersambar petir lalu memacu langkahnya, berjalan lebih dulu, meninggalkan Sunwoo di belakang. Sengaja menghindar, menurutnya lebih baik ketimbang harus menjawab Sunwoo.
"He-- Ck! Apa kau benar-benar masih akan menyimpan dendam karena aku meninggalkanmu kemarin? Aku sudah bernyanyi untukmu _lho_, tujuh lagu lagi!"
Itu. Itu dia kejadian yang telah merebut perhatian Haknyeon dari gurunya seharian ini.
Padahal Sunwoo sudah sering bernyanyi untuknya, tapi kenapa hari ini suara halus Sunwoo saat bernyanyi ditambah iringan gitar
berputar terus tanpa henti di kepalanya? Lama-lama Haknyeon bisa gila."Aku kan hanya meminta enam!" Haknyeon mengelak setengah berteriak, untungnya Sunwoo tersadar, dirinya sendiri yang memilih buat menyanyikan Haknyeon lagu terakhir itu. Sunwoo rasanya seperti tertangkap basah.
Demi Tuhan, sudah cukup ia diusik dengan bayang-bayangnya sendiri, Haknyeon tak perlu diingingatkan lagi. Sungguh.
Makin-makinlah ia mempercepat kakinya, membuat Sunwoo yang membuntuti berseru-seru memanggil namanya."Haknyeon! Tunggu!"