Jika kemarin jantung mereka yang berdetak keras, sekarang semua yang di kelas mengalami itu, bedanya hari ini karena gugup.
Ulangan fisika minggu lalu dibagikan. Bagaimana tidak keringat dingin?
Satu per satu dipanggil maju ke depan untuk bergilir mengambil kertasnya.Macam-macam ekspresi dibuat oleh mereka yang maju. Ada yang terlihat langsung murung, terlihat berseri, dan ada saja yang terlihat santai menggaruk-garuk kepalanya heran kenapa ia bisa mendapat nilai besar, padahal seingatnya ia tak belajar.
Sekarang giliran Sunwoo, absennya dipanggil. Ia melangkah sambil menggigit ibu jarinya sendiri. Tak lama berbalik, masih menunduk menatap kertas ulangannya, Sunwoo kemudian melempar senyum pasrahnya menunjukan kertas dengan tinta merah bergambar angka tiga puluh (30) ke Haknyeon.
Haknyeon jadi makin gugup setelah melihat Sunwoo.Gilirannya tiba, Haknyeon takut-takut melangkah menghampiri guru yang geleng-geleng sebelum menyerahkan hasilnya.
"Haknyeon, aku tahu kamu sedang sibuk dengan persiapan teatermu. Tapi tidak biasanya nilaimu kecil. Tetap pertahankan belajarmu, ya?"
Guru itu menatapnya setengah tersenyum, Haknyeon balik membalas senyumannya kikuk.Seperti yang Sunwoo lakukan, Haknyeon masih berdiri di depan, berbalik dan menunjuk angka empat puluh lima (45) di pojok atas kertasnya, ia tersenyum konyol mengendikan bahu.
Sunwoo mengerti maksudnya. Setidaknya walau nilai Haknyeon buruk, begitu juga nilainya.**---**
Kantin hari ini sedang riuh dipenuhi murid-murid kelaparan. Cacing-cacing gaib di perut mereka sudah meraung-raung minta diisi.
"Kau sungguh akan makan semua itu?"
Sunwoo menunjuk satu-satu hidangan yang Haknyeon bawa.
Haknyeon membawa roti di tangannya, mulutnya mengemut permen dan masih ada semangkuk mi kuning di depannya. Benaran banyak.
Mengundang tatapan aneh dari sahabatnya."Tentu saja, kalau tidak untuk apa aku memesannya?"
"Wah... perutmu memang asli perut karet" Ucap Sunwoo entah kagum atau meledek.
Percakapan soal tatap-tatapan mereka kemarin tidak lagi ada yang mau membahas. Enggan, terlalu canggung.
Sunwoo menangkup mukanya memandang Haknyeon yang sibuk mengunyah roti, permennya tadi sudah habis.
Haknyeon tahu soal itu, tapi memilih untuk tetap diam dan menikmati pertandingan basket di lapangan yang berbatas pagar tinggi di sampingnya"Hei, kau lihat anak yang di sebelah sana itu?" Haknyeon menunjuk salah satu pemainnya.
"Yang mana?"
"Bukannya aku sudah pernah menceritakannya ya? Dua hari lalu jika aku tak keliru, saat kita pulang di hari hujan itu... Ah, sudahlah aku lupa. Ngomong-ngomong, itu, dia yang dengan nomor 11. Kak Juyeon, Kak Lee Juyeon"
"Lalu? Apa yang membuatnya spesial?"
Sunwoo mendengus malas, fokus mengaduk minumannya. Suasana hatinya tiba-tiba jadi buruk. Sungguh, justru sekarang ekspresinya terlihat masam, rasanya kecut sekali.Sebenarnya tidak perlu ditanyakan lagi.
Juyeon, kakak tingkatnya, yang ia dengar dari cerita Haknyeon; Juyeon tinggi, bahkan lebih semampai dari Sunwoo. Juyeon juga berparas tampan dengan struktur wajahnya yang tegas, tak lupa bahwa fakta Juyeon sering memenangkan pertandingan basket dan memberikan sekolah kebanggaan paling tinggi, sebab yang dibawa pulang adalah piala-piala melawan sekolah yang terkenal cukup sulit untuk dikalahkan. Tapi Juyeon selalu berhasil menyelamatkan timnya di detik-detik terakhir dengan tekhnik _three point_ andalannya.
Ah, Lee Juyeon memang luar biasa."Kau tidak seru, jelas-jelas pajangan piala basket di lobi hampir semua dia yang memenangkannya" Mata Haknyeon masih mengikuti gerak-gerik Juyeon bermain.
"Pialaku juga ada disana, aku dan tim futsalku" Kalimatnya malah tidak mendapat perhatian.
"Sunwoo,"
"Ya?"
"Bagaimana jika Kak Juyeon menjadi pacarku?"
Sunwoo langsung tersedak minumannya, setelah membersihkan wajahnya dengan lengan, ia memberikan Haknyeon tatapan: _Kau serius?_
Bukannya ia tak senang jika akhirnya sahabatnya itu punya kisah asmara dengan orang lain. Tapi, daripada orang lain tidak bisakah orang itu adalah dirinya?"Kenapa? Siapa yang tahu dia bisa membantuku memperbaiki nilai ulanganku yang akhir-akhir ini turun, kan?"
Haknyeon memberikan reaksi terbalik dengan tatapan Sunwoo, mengangguk-ngangguk semangat."Kan tidak harus dia. Kau bisa main ke rumahku dan belajar bersamaku, apa bedanya? Lagipula ia lebih pintar di non-akademik ketimbang
materi akademik""Tentu, tapi dia sudah pernah belajar materi kita sekarang, Nu, dia sudah kelas 12. Dan lagi aku tahu kau ini susah diajak serius, apalagi belajar"
Sunwoo mendengus, mendadak bangun dari duduknya tanpa mengatakan apapun pada Haknyeon. Ia berniat ingin segera mengakhiri makan siangnya hari ini, nafsunya hilang.
Haknyeon segera menyusul, bahkan mi-nya tadi belum disentuh, ia tinggalkan tanpa menoleh lagi ke bangkunya.
"Hei! Kenapa kau marah?"
"Aku tidak marah" Sunwoo lanjut berjalan.
"Kalau begitu kenapa kau pergi?" Haknyeon masih belum menyerah membuntuti Sunwoo di belakangnya.
"Apa karena aku mengataimu kau tidak bisa diajak serius? Sebentar--"
Haknyeon bertanya lagi, menahan tangan kiri Sunwoo agar berhenti. Setidaknya agar ia didengarkan."Oke, dengar. Aku minta maaf, ya?"
Sorot mata Sunwoo masih belum sepenuhnya berubah.
Dalam hatinya Sunwoo jelas tahu ia tidak seharusnya bersikap begini ke Haknyeon, padahal dulu-dulu saat Haknyeon memberitahunya soal orang lain ia akan ikut merasa senang, tapi kenapa sekarang semua itu malah terasa sangat memuakkan?
Sunwoo menempik tangan Haknyeon yang menggenggamnya, kembali balik melangkah menuju kelas."Yang benar saja, Sunwoo! Apa yang sebenarnya membuatmu marah? Kenapa kau tiba-tiba begini?"
Haknyeon mencebik, Sunwoo terus melangkah tanpa meliriknya sedikitpun."Oh, atau karena aku membicarakan Kak Juyeon? Kau terlihat tidak terlalu senang saat aku bilang ingin menjadikannya pacar tadi"
Haknyeon sebenarnya hanya menebak-nebak, tapi diluar dugaannya sendiri, sahabatnya itu berhenti. Haknyeon langsung mengganti ekspresi bingungnya dengan tawa sarkas, ia maju, membalik paksa badan Sunwoo."Jadi benar kau marah karena itu?"
Sunwoo berdiri diam disana, wajahnya sekeras batu. Netra keduanya bertemu, tapi kali ini hanya amarah yang mengalir. Haknyeon menelisik jauh dalam gelap mata yang lebih muda, menuntut jawaban jika memang bisa ia dapat.
"Berhentilah membicarakan Kakak itu"
"Kenapa? Kau cemburu?"
Lagi-lagi tidak ada jawaban. Sebelum Sunwoo berbalik, Haknyeon cepat sekali menahan pergelangan kirinya, seperti tadi, tapi lebih erat, Haknyeon menolak kalau tangannya ditepis untuk kali kedua.
Haknyeon menatap penuh tanda tanya dibalik punggung Sunwoo.
Isi kepalanya mulai berdebat, puluhan pro dan kontra saling bersanding melawan. Teka-tekinya makin rumit. Kenapa ia harus mengungkit soal Juyeon tadi? Apa itu jadi salahnya? Kalau memang bukan Juyeon penyebabnya, kenapa Sunwoo hanya menyangkalnya setengah-setengah? Apa teman seharusnya begini?"Nu, kita ini benaran teman?"