02. Langkah Kaki yang Ikut Menapaki Mimpi

93 23 15
                                    

♬ I saw just like youI wandered just like you

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

I saw just like you
I wandered just like you ....

⇆ㅤ ||◁ㅤ❚❚ㅤ▷||ㅤ ↻

Pernahkah kamu berada di suatu fase di mana kamu dihadapkan eksistensi benda asing yang seenaknya menerobos masuk ke dalam membran kehidupan?

"Uhm, hai! Namaku Bumantara. Karena kepanjangan dan aku yakin panggilan 'Bu' bisa bikin salah paham, jadi panggil Tara aja." Di depan kelas sana, wali kelas mereka, Pak Prana, datang bersama seorang anak lelaki dengan tas yang digantungkan di sebelah pundaknya.

Anak baru? Sejenak, Tala memicingkan mata. Jika ditilik dari gaya bahasa dan penampilannya, Tala yakin anak itu bukan dari sekitar Bandung. Berasal dari Jakarta, mungkin? Oh, sebentar. Apa anak itu baru saja mengeluarkan lidah tanpa alasan? Tala melotot. Ini model buaya! Perlu pakai alat pelindung diri dan diberlakukannya physical distancing yang ketat penjagaan!

Tara masih nyengir lebar. "Aku pindah ke Bandung ini karena pekerjaan ayahku yang dialihtugaskan dari instansinya. Oh, iya. Maaf karena baru bisa masuk di jam istirahat ini. Biasalah. Aku harus mengurus beberapa hal dulu, tadi."

Kedua alis Tara diangkat-angkat. Sempat bertemu tatap, Tala langsung mendelik dan merotasikan bola matanya, berlagak muak. Persetan soal bisik-bisik anak lain yang asyik memperbincangkan potensi besar Tara untuk memenuhi standar klasifikasi cogan SMANSABA. Tala lebih memilih untuk menopang dagu dan membuka buku tulis matematika peminatan miliknya. Itu jauh lebih menarik dibandingkan spesies tidak penting di depan kelas.

Perhatian Tala baru berhasil dialihkan ketika Pak Prana angkat suara. "Baik. Tara, kamu bisa duduk di bangku kosong sana, ya, sebelah kiri Bentala."

Bangku kosong? Tala menghentikan gerakannya yang sedang membalik halaman. Apanya yang bangku kosong? Tala melirik Langit yang sedang menempati bangku yang dimaksud wali kelas mereka. Jelas-jelas sudah diisi Langit, Pak Prana ini kenapa, sih?

Di saat anak baru itu bersiul riang dan bergerak mendekati bangku di dekat jendela yang dimaksud tadi, tahu-tahu saja, Tala sudah pasang badan untuk menghadang jalannya. Kedua alis tipis Tala sudah mengikis jarak, tampak marah sekali. Jangan lupakan tatapan nyalang dan air mukanya yang geram parah. "Ini bangku Langit."

Terjadi keheningan yang panjang. Tidak ada satu anak pun yang berani angkat suara, bahkan Pak Prana sekalipun. Tak paham dengan situasi yang ada, Tara menatap Tala dengan sorot bertanya-tanya. "Langit? Dia temanmu yang enggak masuk? Jadi jumlah siswa di kelas ini emang udah genap, sebelum aku masuk?"

"Hah?" Tala tak paham dengan omong kosong apa yang sedang dibicarakan anak baru tidak tahu diri itu. Sudahlah. Yang pasti, Tala cuma mau menjaga hak milik Langit! Mana bisa semua ini dibiarkan begitu saja, 'kan?

Akan tetapi, sebelum gejala Tala yang kesurupan reog ini bertambah parah dan tak tertolong lagi, lekas saja Langit bangkit dari duduknya, lalu menggenggam bahu Tala erat-erat. Merasakan sentuhan hangat itu, Tala menoleh ke belakang. Tampaklah Langit dengan tarikan kedua sudut bibirnya, manis. Mata sewarna hitam legam itu menyorotkan ketulusan. "Enggak apa. Masih ada bangku bekas di belakang. Aku di sana aja, ya."

Persimpangan Angan [OPEN PO]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang