BAB Empat

17 17 26
                                    

Radit udah super malas nunggu Aria yang nggak kunjung datang. Hampir setengah jam lebih dia menunggu tapi tu cewek nggak menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Baru ketika dia memutuskan untuk pulang duluan, tu cewek nongol sambil cengesan dengan wajah tanpa dosa.

"Maaf ya Dit lama, tadi ada diskusi sebentar buat tugas kelompok sekalian piket."

"Kenapa nggak bilang, nyet?"

"Ya maaf, gue lupa." Bilangnya minta maaf tapi wajahnya nggak menunjukkan perasaan bersalah sama sekali. Malah cengesan.

"Ada HP buat apa kalau nggak digunain?"

"Habis batre."

Radit menghela napas, menahan umpatan. Dia memberikan helm pada Aria dan naik ke atas motor. "Besok gini lagi nggak ada setengah jam lo nggak datang, gue tinggal."

"Ih jahat banget," kata Aria naik ke atas motor  sambil membulat kedua bola mata. "Toleransi waktunya sejam, ya?"

"Lima belas menit."

"Anjir nggak asik banget."

"Dibaikin ngelunjak sih lo."

"Idih." Kepalanya bertumpu di bahu Radit dan menatap cowok itu dari samping. "Lo kali yang dibaikin malah ngelunjak. Gue sering kasih sontekan malah lo yang dapet kelas anak-anak ambis."

Radit menyeringai, sedikit menoleh menatap Aria. "Keberuntungan selalu memihak buat anak baik."

Aria mendesis lalu mencubit perut cowok itu agak keras sampai dia meringis kesakitan. Motornya sedikit oleng tapi Radit berhasil menguasainya. "Jangan banyak tingkah Ri kalau mau selamat sampai rumah."

Aria mencibir.

"Ri."

"Apa?"

"Mau beli soto nggak?"

"Di mana?"

"Menurut lo?"

Aria terkekeh. "Sewot banget sih lo sama gue, santai dong. Mang Ido?"

"Heeh."

"Tumben. Bunda nggak masak?" tanya Aria.

Radit dan Aria memang berteman dari SMP tapi dulu mereka belum sedekat itu sampai Aria berani memanggil Bunda Radit dengan sebutan Bunda saja. Tanpa embel Bunda Radit atau Tante, hanya Bunda layaknya seorang anak. 

Ceritanya, saat awal kelas sepuluh mereka mendapatkan tugas membuat kerajinan. Tugas tersebut dikerjakan di sekolah dan berjalan lancar. Pas pulang, hujan besar. Radit dan Aria terjebak di sekolah berdua karena mereka paling akhir di antara anggota kelompok lainnya. Karena hari semakin malam dan terlalu mencengkam di sekolah, mereka memutuskan pulang meski harus basah kuyup.

Radit membawa Aria ke rumah karena nggak tega tu cewek kedinginan. Niatnya, mau kasih pinjam baju kakaknya tapi dari situlah awal mula Aria dan Bunda menjadi dekat. Bahkan, lebih dekat dari Radit sebagai anak kandungnya sendiri. Nggak cuma Bunda tapi kedua kakak perempuannya pun Aria dekat.

Berawal dari situ kehadiran Aria seakan wajib di tiap pertemuan penting atau saat Bunda memasak resep baru tapi orang-orang rumah nggak ada di rumah. Tu cewek nggak pernah absen karena Bunda pasti menyuruh Radit membawanya ke rumah atau Bunda sendiri yang meminta Aria  datang ke sendiri ke sana. 

"Lagi ke Solo sama Ayah."

"Nggak ikut?"

"Lo kira gue anak kecil yang selalu ikut kemana mereka pergi?" Radit ngegas sambil menoleh ke belakang.

Aria ketawa.

Selalu menyenangkan mendengar cewek itu tertawa dan tersenyum. Tawanya seperti nyanyian pengantar tidur dan senyumnya seperti mimpi indah dalam tidur. Tapi Radit nggak bisa tidur karena sekarang dia lagi nyetir motor. Jadi, dia akan membawa tawa dan senyum itu ke dalam tidur saat malam tiba agar tidunya lebih damai dan tenang.

Biru dan Abu-AbuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang