Bab Dua

32 29 75
                                    

Waktu jam istirahat, Aria dan Alin bergegas ke kantin. Selain nggak mau kehabisan tempat duduk, Aria mau cepat-cepat cerita soal Pram ke Radit. Dia mau pamer karena bisa sekelas dengan Pram.

"Radit!" Aria duduk di sebelah Radit yang baru menyuap sesendok nasi goreng ke dalam mulut. Gara-gara tu cewek dia gagal menyuap dan melirik Aria sinis. Yang ditatap malah nyengir lebar nggak ada dosa. "Tebak!"

"Gue ganteng," kata Radit menyeringai jahil. 

"PD banget lo," runtuk Aria sambil neleyor lengannya.

"Lo suruh gue tebak gue jawab, Ri. Nggak salah, kan?"

Aria mencibir. Dia mencondongkan badan ke arah Radit dan berbisik di telinganya. "Gue satu kelas sama Pram."

Suapan kali ini berhenti karena kemauan Radit tanpa adanya gangguan dari Aria atau yang lain. Dia mengernyitkan dahi mencari kebohongan dari cewek yang duduk menghadapnya dengan senyum merekah manis. "Ngeprank lo mana ada lo sekelas sama Pram."

Satu angakatan sepakat mengatakan kalau Pram sempurna. Sempurna baik dalam bidang akademik maupun nonakademik. Radit jelas nggak percaya Pram ada di IPS 4, sekelas pula sama Aria yang notabennya nggak beda jauh dengan dia alias bodoamat dengan pelajaran. Definisi remaja yang benar-benar menikmati masa remajanya tanpa peduli masa depan. 

"Tanya Alin. Dia juga sekelas lagi sama gue."

Alin mengangguk yakin. Kalau tu cewek udah menjawab pasti jawabannya benar dan nggak perlu diragukan. "Duduk di barisan dekat jendela kalau lo mau memastikan."

"Kenapa bisa?"

"Ya bisalah," jawab Aria jutek dan merasa bangga. "Kalau udah jodoh nggak akan ke mana."

"Jodoh-jodoh. Ulangan masih sering nyontek aja belagu pakai ngomongin jodoh. Belajar dulu yang benar baru ngomongin jodoh." Radit menyentil dahinya.

"Aw!"

"Nggak sakit. Nggak usah lebay," sinis Radit dan Aria mencibir. Obrolan selanjutnya mengalir tanpa Radit. Tu cowok diam memikirkan sesuatu. "Ri," Radit memanggil. Obrolan ketiganya berhenti. Alin dan Gibran penasaran mau menguping. "Taruhannya masih berlaku?"

"Taruhan? Yang mana?" Aria sendiri lupa soal taruhan tersebut. Lalu, tiba-tiba dia berseru nyaring. "Oh yang itu!"

"Apaan Ri?" tanya Alin kepo.

"Waktu awal masuk di Jayakusuma gue pernah ngajak Radit taruhan. Siapa yang paling cepat dapat pacar harus mengabulkan permintaan yang menang." Aria terkekeh sendiri mengingatnya. "Kok gue bisa lupa, ya? Padahal gue yang usulin, kenapa lo yang ingat, Dit?"

"Kalau menang dapat?"

"Gue menang beliin tiket konser BTS." Alin dan Gibran melongo. Aria nyengir dan Radit terkekeh. "Nggak lah, bercanda. Gue menang Radit harus traktir gue makan sebulan full."

"Anjir, Ri, lo menang langsung jadi kaya mendadak itu. Duit jajan bisa ditabung buat foya-foya," kata Gibran masih melongo dengan taruhan Aria.

"Lo, Dit?"

"Jadiin ni anak babu selama satu semester." Radit menyeringai. Dia ingat betul ketika Aria sendiri mengajukan hal tersebut.

Alin bertepuk tangan, menatap Aria sambil tersenyum menahan umpatan. "Gue tau punya teman sebodoh dan sepolos ini tapi gue nggak tau kalau bodoh dan polosnya udah tingkat nggak bis tertolong."

Dua cowok itu ketawa dan Aria menyipitkan mata. "Ngatain gue bego, hah?"

"Emang kata apalagi yang pantas buat lo selain itu?"

Biru dan Abu-AbuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang