Bab Lima

14 14 18
                                    

Sewaktu upacara selesai, Aria nggak sengaja lihat Radit di barisan matahari. Tu cowok menampilkan wajah mengejek, khas seorang Radit kalau ingin membuat Aria kesal dan cewek itu masa bodo. Dia lebih tertarik menduga alasan Radit berakhir di sana daripada meresponsnya. Karena sebulan ini, Radit berhasil nggak terlambat atau melanggar peraturan. Pokoknya jadi anak baik deh sehabis dapat surat cinta dari BK karena terlampau sering bermasalah.

Karena sehabis upacara pelajaran olahraga, Aria nggak sempat bertanya lebih lanjut pada tu cowok sebab dia bisa berakhir di sana. Dia harus bergegas mengganti seragam dengan seragam olahraga karena guru olahraga di semester ini cerewetnya minta ampun. 

Radit masih di lapangan saat Aria dan teman-teman sekelas ke lapangan. Tu cowok bersama anak-anak lainnya berada di sisi lapangan lainnya. Menghadap matahari sambil hormat dan masih bisa menonton kelas IPS empat olahraga.

Materi pertemuan kali ini bola basket. Mereka bakal berpasangan untuk melakukan tes melempar bola setinggi kepala dan memantulkannya ke tanah sebanyak mungkin. Masing-masing pasangan akan ditentukan oleh guru, biasanya berdasarkan absen.

"Zefanya sama Akandra."

Pram langsung bangkit begitu namanya disebut sedangkan Aria masih asik ketawa-ketawa bareng teman cewek sekelasnya.

"Zefanya," kata guru tersebut sekali lagi dengan nada lebih keras dari sebelumnya.

Aria tersentak, menoleh ke guru tersebut. "Eh, iya, Bu. Ada apa?"

"Tes sana bareng Pram."

Demi mendengar nama Pram, Aria mengerjapkan mata dengan muka melongo. "Bukannya sama Amanda?"

"Yeuh, eneng, Amanda nggak masuk."

Aria membulatkan bibir. Baru sadar Amanda nggak masuk karena sakit padahal dia yang pegang absensi.  Akhirnya, dengan perasaan berdebar nggak percaya bisa berpasangan dengan Pram meski sekadar test semata tapi sukses membuat Aria terbang sampai langit ke tujuh. Tapi dia nggak boleh kelihatan senang. Yang ada Pram tahu dan urusannya makin ribet. Bakal canggung ntar di kelas.

Beberapa langkah di depannya, Pram mendongkak memantulkan bola ke atas dengan cahaya matahari sebagai latar pencahayaan.  Begitu indah dan cantik. Aria berikrar dalam hati saat itu juga kalau Pram bersama cahaya matahari adalah mahakarya Tuhan paling indah dan cantik. Jauh-jauh lebih indah dan cantik daripada senja-senja yang selama ini dia kagumi sepenuh hati dan sepenuh jiwa dan sepenuh raga.

"Aria?" Pram memanggil Aria dengan kedua alis terangkat. Dari tadi tu cewek diam, terpaku pada satu titik dan itu dirinya. Pram mencoba nggak peduli tapi tatapan itu jelas-jelas mengarah pada dia.

"Iya, kenapa?" Mukanya merah ke gep lagi lihatin.

"Gue atau lo yang hitung?"

"Gue aja."

Pram mengangguk. Dia bersiap di tempat menunggu aba-aba tes dimulai. Tapi sebelum itu, dia agak kesulitan melakukan lemparan bola basket dengan posisi matahari yang menyilaukan mata. Jelas menghambat tu cowok. Dan Aria, menangkap ketidaknyamanan tersebut. Dengan sedikit keberanian, dia berkata, "Pram, mau tukeran tempat?"

"Makasih ya, Ri."

Peluit berbunyi. Tes dimulai. Pram melempar bola secepat dan setinggi mungkin.  Aria sampai kewalahan menghitung, saking cepatnya tu cowok bergerak. 

Bunyi peluit selanjutnya berbunyi. Tes selesai. Pram bertanya perolehan angka yang dia dapat dan Aria menjawab, "Empat puluh." Angka yang sangat tinggi di saat rata-rata temannya nggak lebih dari tiga puluh.

Mereka bertukar tempat. Adegannya persis kayak di film-film atau novel-novel. Ala-ala cewek jatuh yang diselamatkan oleh cowoknya. Dan hal serupa terjadi pada Aria. Di tengah jalan, Aria tersandung. Refleks, Pram menahannya. Untuk beberapa saat mereka terdiam dalam posisi Pram menahan bagian tubuh depan Aria sementara tu cewek masih mencerna kejadian tersebut.

Detik berikutnya, Aria menarik diri. Agak menunduk sambil berterima kasih. Di tempatnya berdiri, Aria masih mengontrol fokus akibat kejadian tadi. Jantungnya berdebar makin cepat dan terasa makin panas. Mukanya udah pasti semerah tomat. Malu banget, batin Aria.

...

"Gimana Ri rasanya skinship sama doi?"

"Lo lihat?" Aria nggak jadi menyuap batagor ke dalam mulut gara-gara mendengar pertanyaan tersebut. Padahal, dia udah yakin nggak ada yang lihat selain mereka berdua. Tapi buktinya, Alin dan Hira melihatnya. Bahkan mereka bilang satu kelas melihatnya. Dan bisa jadi anak-anak di barisan matahari pun ikut melihat. "Pantes tadi si Malvin cengengesan lihat gue papasan sama Pram taunya tu anak lihat gue hampir jatuh."

"Alamat bakal ketauan keknya Ri."

"Ah, jangan dong. Canggung ntar di kelas." Aria cemberut memikirkan nasib ke depannya bagaimana. Apalagi kalau Malvin udah ikut campur betulan tamat riwayat Aria.

"Tapi lumayan Ri ada akses masuk."

"Lo kira apaan ada akses masuk segala?" Mereka ketawa bersama.

"Ri, Ri, Ri," kata Alin menepuk-nepuk punggung tangannya keras-keras sambil menatap ke belakang tu cewek.

"Apa sih sakit tau."

"Lihat di belakang lo." Yang disuruh Aria tapi Hira ikutan berbalik juga.

Di mulut kantin, Radit dan Gibran berhenti di antara lalu-lalang murid SMA Jayakusuma bersama dua cewek di hadapan mereka. Dua cewek itu berdiri membelakangi Aria dan teman-teman. Melihat Radit mengerutkan dahi pasti ada sesuatu hal nggak beres. Nggak lama, dua cewek itu pergi dan dua cowok itu menghampiri meja makan Aria dan teman-teman. 

"Siapa?" tanya Aria.

"Apanya?" balas Radit dengan pertanyaan sambil mengambil alih garpu yang dipegang tu cewek. Menyuap dua potong batagor sekaligus.

"Cewek tadi."

"Calon pacarnya." GIbran mewakilkan, menaikkan kedua alis menerima tatapan sinis dari sohibnya. "Anak kelas sepuluh yang tadi pagi dia tolong."

"Tolong gimana?"

"Lo taukan ni anak ada di barisan matahari?" Aria mengangguk. "Itu karena dia kasih pinjam topinya ke tu anak, cewek yang rambutnya nggak diikat."

"Sebenernya nggak percaya tapi buktinya udah jelas," kata Aria jelas-jelas tertuju pada Radit.

"Salah paham itu mah."

"Salah paham gimana?"

Radit menoleh dengan mulut penuh batagor. Dia menelan lebih dulu makanan tersebut sebelum menangkup kepala tu cewek. Mata yang polos dan wajah yang menggemaskan itu membuat Radit ketawa.  Sementara tu cewek, nggak bereaksi apa pun selain menerima. "Cukup tau udah bagus buat lo."

"Radit, salah paham apa? Plis, gue udah kepo. Mau pantatnya kelap-kelip bikin anak orang kepo?" Mereka ketawa dan Aria nyengir.

Radit menjelasksan kronologi pagi tadi dengan nada malas dan masih menyantap batagor milik Aria. "Kalaupun bukan dia orangnya bakal tetep gue kasih karena itung-itung ada alasan kabur dari Ekonomi. Tapi mungkin dia berpikir gue ada rasa."

"Udah baperin anak orang nggak mau tanggung."

"Susah ya mau jadi orang baik. Baik dibilang baperin, nggak baik dibilang nggak ada hati. Lo pada maunya apa sih?"

"Tapi gue setuju sama Hira. At leat kalau lo bikin baper anak orang tanggung jawab dikit karena dari awal biangnya dari lo. Bilang aja lo nggak ada rasa. Terdengar agak jahat emang tapi cinta yang dipaksa juga nggak nyaman."

"Tumben lo pinter."

Aria malah nyengir disindir Gibran.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 01, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Biru dan Abu-AbuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang