Aku menatap Mama dan Gala bergantian. Lalu terpaksa mengangguk tanpa kata-kata. Melihatnya, Gala pun langsung permisi untuk pulang. Namun, kucegah sebelum ia melewati pagar.
"Makasih ya. Besok malam gue main ke arena," kataku merebut skateboard dari tangannya.
"Mau main skateboard? Malam ini aja hayuk," celetuk Asta.
Aku dan Gala memandangnya bersamaan. Cukup mengejutkan, ia yang kutahu seorang geng motor. Malah terlihat antusias ingin bermain skateboard.
"Nah! Cocok! Dua duaan bisa main skateboard. Sama-sama suka pakai topi juga, kan? Eh, lupa. Poni lo kan udah tumbuh," ucap Gala padaku dengan sebuah tawa yang tersimpul, tidak bisa kuartikan.
Memang, tujuan memakai topi sejak kelas lima adalah demi menutupi poni yang telah kugunting habis. Karena aku tidak suka jika Mama menyisir poni sampai menutupi jidat, apalagi jepitan bergambar itu sering dijadikan penghias di kedua sisi kepalaku.
Melihatku yang ditertawakan teman-teman di sekolah, Gala memberiku sebuah topi miliknya yang berwarna hitam. Topi yang bertuliskan "Balenciaga" itu akhirnya kugunakan selama lima tahun lebih. Tidak peduli jika sudah agak buluk, yang penting masih terasa nyaman ketika digunakan.
Setelah mengatakannya, Gala ingin melangkah pulang, tapi tertahan karena kami sama-sama mempertahankan skateboard dalam cengkeraman. Tarik menarik pun terjadi, mata kami melotot. Tidak ada yang mau mengalah. Asta yang berdiri di belakangku segera melerai, ia mengajak Gala untuk ikut serta ke arena. Namun, sayang ajakannya ditolak mentah-mentah.
Gala melepaskan cengkeramannya. Mengikhlaskan skateboard yang sejak awal memang untukku.
Ia melangkah pulang. Kutatap langkahnya yang menyimpan kekesalan. Baru saja hendak mengejar, Mama lebih dulu mengingatkanku akan kehadiran Asta.
"Ma, Asta kan mau main skateboard. Jadi, kami ke arena dulu ya," kataku menolak ajakan Mama untuk masuk kembali.
Di jalan, Asta menceritakan banyak hal. Jika bersama Gala aku tidak pernah merasa lelah, tapi kali ini entah kenapa lelah menghampiriku begitu saja. Nafas terasa ngos-ngosan. Padahal aku irit bicara. Jarak ke arena juga tidak berubah, sama saja ketika kujalani bersama Gala.
Setibanya di arena, kugulung rambut ke atas, lalu mulai bermain sepuas hati.
Skateboard baru memang sedikit kaku, beberapa kali aku harus terjatuh demi bisa beradaptasi. Hingga akhirnya harus melonggarkan truck agar bisa lebih leluasa. Dan benar saja, setelahnya, aku bisa melakukan berbagai trik dengan mulus.
Merasa lelah, aku istirahat di samping Asta yang duduk di sisi bowl. Ia memuji aksiku, tapi matanya melihat beberapa lecet dan bekas luka di kakiku. Berbeda dengan Gala, yang tidak pernah risi dengan kaki belang zebraku.
Kami sempat terdiam, karena Asta mengetahui arah tatapanku. Aku pun melempar pandang.
"Sayang," ucap Asta yang kulihat dari ekor mata masih menatapku.
"Apa?"
"Eh? Ini lho, sayang arena seluas ini letaknya di kompleks. Seolah-olah skatepark ini cuma untuk warga kompleks. Padahal, di luar sana banyak juga yang hobi main skate, tapi ya kamu tau sendiri. Skatepark nya gitu-gitu aja," terangnya yang langsung melempar pandang ke seluruh sisi arena.
Tidak ingin menanggapi, karena memang tidak tahu harus berkata apa. Aku menawari Asta untuk bermain.
Ia menyambut "my new Thunder" dengan senang dan langsung melaju. Cukup lihai melakukan kick trun dan carving trun.
KAMU SEDANG MEMBACA
GalaBia [TAMAT]
Teen FictionKehilangan jati diri demi mendapatkan perhatian? Sebenarnya sih, bukan impian Sabia. Namun, karena tidak sanggup mengatakan isi hati, maka terpaksa harus menjiwai peran. Dan ternyata perjuangannya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Sabia ben...