Bagian 14 - Melon

12 0 0
                                    

“Lo nyusul gue?” tanyaku langsung.

Meskipun terucap pelan, tapi ternyata Mama juga mendengar dan anehnya, ia malah membela Asta.

Sontak membuatku merasa semakin tidak enak pada Gala. Aku berusaha menyudahi tuduhan Mama pada Gala yang tidak masuk akal.

“Lo pulang aja gih. Percaya sama gue,” potong Gala saat aku berusaha membantah tuduhan Mama.

Ia tampak meyakinkan.

Kedua tangan yang tadinya masuk ke saku celana pendek, kini terbuka lebar mempersilakanku untuk melangkah. Dalam sekejap, Mama meraih tanganku.

Dengan terhuyung-huyung mengikuti langkah Mama yang cepat.

Masih di carport, aku menyempatkan untuk menoleh, mengucapkan terima kasih sekaligus permisi pada Gala. Begitu juga dengan Asta yang menyusul di belakang. 

Di depan pagar rumah Gala, aku meminta izin pada Mama untuk pergi ke pos satpam. Namun, ternyata tidak diizinkan.

“Tapi aku harus cek, Ma,” pintaku berkali-kali.

“Enggak ada yang perlu di cek! Semua ini jelas salah Gala, yang sudah kenalkan kamu sama skateboard! Coba aja kalau kamu enggak kenal skateboard, kamu enggak bakal ke mana-mana pakai skateboard! Pasti jalan kaki, lebih aman!” hardik Mama.

Asta yang tadinya hanya diam di antara kami, jadi angkat bicara. Ia menawarkan diri untuk mengecek rekaman CCTV. Sebenarnya malu, berdebat sama Mama di depan Asta.

Untungnya Gala sudah masuk. Kalau tidak, bisa ketiban malu kuadrat.

Mama pun langsung setuju. Setelah mengambil tas dan helm di bangku teras rumahku, Asta langsung pamit dan berjanji akan mengabari secepatnya.

“Asta, makasih, ya,” ucapku sebelum ia pergi.

Ia mengangguk sambil tersenyum. Meski ia mengaku jika sama sekali tidak keberatan, tapi tetap saja aku merasa tidak enak. Biar bagaimanapun juga, Asta adalah orang yang baru kukenal.  Tidak seperti Gala, yang sudah tahu boroknya aku.

Motornya pun melaju dengan kecepatan sedang.

Di ambang pintu, kutarik tangan Mama. Memohon agar berhenti menuduh dan menyalahkan Gala. Karena selain sahabat, ia juga orang yang paling mengerti aku. Bahkan aku merasa, Gala lebih bisa menerima aku apa adanya ketimbang Mama.

“Ya udah, kalau gitu sekalian aja kamu tidur di rumah Gala!” seakan tanpa mau peduli air mataku, Mama berlalu begitu saja.

Aku terpaksa mengatakan hal menyakitkan, "Mama harus tahu kalau bagiku Gala adalah segalanya. Dia manusia yang benar-benar tulus dan selalu ada buatku."

“Maafin Bia, Ma kalau Mama sakit hati dengan kata-kata Bia barusan.”

***

“Woi!” kejut Inka dari belakang.
Untung saja gawainya yang sejak tadi kutatap tidak melorot dari genggaman.

Ia datang sambil membawa dua gelas es susu strawberry. Pantas saja lama, kukira cuma ke toilet, ternyata sekalian ke kantin. Dasar Inka, lagi menunggu jemputan, masih saja sempat jajan.

“Gimana?” tanyanya seraya menyerahkan segelas padaku.

Sebelum ke toilet, Inka meminjamiku gawainya yang menyimpan hasil tangkap layar dari sebuah flyer. Aku menggeleng lemah seraya mengembalikan gawai pipih berkamera tiga dengan case polos berwarna lilac itu.

Seakan tidak percaya, ia menanyakan lagi apakah aku yakin dengan keputusan ini.

Aku mengangguk, berharap yakin dengan keputusanku. Kukatakan pada Inka mana mungkin bisa ikut kompetisi skateboard. Masalah sama Mama saja belum selesai.

GalaBia [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang