“Lo jangan asal nuduh, ya! Gue nggak suka Gala disalahin!” hardikku.
“Mending lo pulang deh,” sambungku lagi.
Tanpa sepatah kata lagi, dengan wajah yang terlihat memendam kekesalan, Asta langsung keluar dari kamar. Inka yang berusaha mencegahnya pun tidak mendapat jawaban ketika ia bertanya seberapa yakin Asta terhadap perkataan Elina.
Aku benar-benar tidak yakin. Gala tidak mungkin sejahat itu.
Kuraih gawai di atas nakas, mencari nama Gala pada daftar kontak lalu menghubunginya. Namun, sayangnya tidak dijawab. Berkali-kali kuhubungi tanpa jeda, tetap saja tidak ada jawaban.
“Inka, lo kan bestie gue. Mau ya ke rumah Gala, please,” ucapku memohon pada Inka.
Walau sempat menolak, karena tidak terlalu mengenal Gala, akhirnya Inka bersedia. Aku berjanji, setibanya Inka di rumah Gala dan bertemu dengan Gala, aku yang akan mengambil alih. Dengan menelepon nomor Inka dan berbicara pada Gala.
“Doain gue, ya,” ucap Inka sebelum keluar dari kamarku.
Di mata Inka, Gala itu sosok yang galak, tidak friendly dan tidak bisa bercanda. Padahal kalau tahu yang sebenarnya, mungkin Inka akan menertawakan dugaannya sendiri.
Masih menunggu dengan harap-harap cemas, tiba-tiba Mama mengejutkanku, “Dimakan dong.”
Aku yang sebelumnya tengah memejamkan mata, berharap semoga Inka berhasil membujuk Gala. Langsung melihat ke atas nakas, ada semangkuk sup, segelas air putih dan beberapa potong buah-buahan.
“Iya, Ma nanti,” kataku sambil membenarkan letak duduk.
Menyusun beberapa bantal di belakang kepala agar bisa tegak.
“Nunggu apa? Ayo dimakan. Biar cepat sembuh, cepat sekolah lagi. Kamu sudah ketinggalan dua hari lo,” Mama begitu mengkhawatirkanku.
Untung saja dalam kecelakaan kali ini ia tidak menuduh Gala. Selain Papa yang berhasil meyakinkan, mungkin karena kebetulan juga saat kejadian aku sedang tidak menggunakan skateboard.
“Nunggu Inka,” jawabku seraya menyuap sepotong apel.
“Inka? Loh bukannya dia sudah pulang? Enggak pamit sama kamu?” tanya Mama.
Aku menggeleng cepat, tidak jadi menyuap potongan apel yang kedua.
“Iya, tadi dia pamit. Katanya buru-buru,” sambung Mama.
“Mama tau nggak Inka pulang bareng siapa?” tanyaku cepat.
Kali ini Mama yang menggeleng seraya merapikan letak mangkuk dan gelas di atas nakas, lalu bergegas keluar membawa nampan.
Begitu Mama menutup pintu kamar, dengan cepat aku mencari gawai di atas nakas. Kuangkat satu persatu mangkuk dan gelas, tapi tidak ada.
Lanjut mencarinya di bawah bantal, guling, bahkan selimut. Sampai nekat turun dari ranjang, mencarinya di kolong, tapi tetap tidak ada.
Kuturunkan semua bantal, guling, selimut, bahkan kubongkar seprai motif zig-zag. Namun, tetap tidak ketemu.
Kuangkat lagi mangkuk, gelas, piring di atas nakas, tapi tidak kunjung ketemu. Kubuka laci nakas dan meja rias satu persatu, meskipun sangat yakin aku tidak menaruhnya di sana.
Dengan melompat satu kaki aku mencoba ke luar kamar. Kudapati sekitar yang sepi. Memanggil Mama berkali-kali, tapi tidak ada jawaban. Terpaksa menapakkan kaki yang sakit untuk melanjutkan langkah. Rasa sakit pun langsung menjalar.
“It’s oke, Bia. Ini bukan rasa sakit, tapi sedap!”
Mataku meram dan melek dibuatnya. Mungkin karena terlalu banyak rebahan, kakiku sepertinya lupa cara menapak.
KAMU SEDANG MEMBACA
GalaBia [TAMAT]
Novela JuvenilKehilangan jati diri demi mendapatkan perhatian? Sebenarnya sih, bukan impian Sabia. Namun, karena tidak sanggup mengatakan isi hati, maka terpaksa harus menjiwai peran. Dan ternyata perjuangannya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Sabia ben...