Bagian 10 - Drop In

31 3 3
                                    

“Eh, entar malam sibuk nggak? Kita ke Janji Jiwa, yuk!” ucapku pada akhirnya, setelah membisu selama satu menit.

Alis Gala mulai mengerut, sebelum ia berkata, lebih dulu kuyakinkan dengan berjanji mentraktir.

“Oke! Sampai ketemu di TKP,” ucapnya langsung.

Setelah itu pamit dan berpaling hendak pergi.

“Tunggu! Kita nggak bareng aja?” tanyaku seraya menarik pergelangan tangannya.

“Enggak bisa. Gue mau antar Nessa,” jawabnya.

Ah, kenapa juga harus tanya sih! Kuiyakan saja segera dengan pasrah bercampur kecewa. Tanpa mau basa-basi, Gala pamit dan pulang lebih dulu. Hatiku nyeri menatap langkahnya. Biasanya, kami selalu berdua.

“Ah, Bia! Kok malah ngajak ngopi sih!” gumamku setelah tersadar.

Segera kuusap wajah dengan kasar, lalu berjalan hendak pulang, tapi cokelat yang tertata di rak depan kasir menggodaku. Kuambil sebatang.

Setelah membayarnya, aku kembali meluncur di atas aspal bersama Thunda, sekalipun memakai dress kaos selutut.

Begitu tiba di rumah, Mama menagih sebungkus butter yang ia titip.

“Astaga, Sabi! Mama kan mau buat kue,” Mama tidak bisa menyimpan kecewanya.

Terpaksa harus kembali ke supermarket demi sebungkus butter. Jika tidak dibeli, aku yakin kenyamanan renangku nanti sore pasti akan terganggu.

Berenang adalah jalan ninjaku. Karena waktu akan terasa berputar lebih cepat ketika kita berada di air. Dengan berenang, perasaan juga akan semakin rileks. Apalagi, kalau dikelilingi dengan aroma terapi.

***

Pada pukul tujuh malam, aku yang tidak sabar mau bertemu Gala, segera bersiap-siap. Kali ini tidak bingung harus memakai apa. Kukenakan celana jin cutbray model high waist, lalu memasangkannya dengan kaos hitam oversize. Tidak lupa tote bag dan kets kesayangan.

Berjalan menuju teras, dengan niat hendak memesan ojek mobil, sekaligus menunggunya di bangku teras. Begitu diambang pintu, ternyata ada Asta. Ia tampak terkejut melihatku. Aku pun demikian.

Mama yang menyambutnya di depan pintu, sontak menoleh ke arahku yang berada di ambang pintu.

“Ya, udah hati-hati di jalan ya. Pulangnya malam ini juga,” ucap Mama sebelum sempat kuucapkan sesuatu.

Aku meraih dengan ragu uluran tangan kanan Mama untuk mencium punggung tangan. Sedangkan Asta tampak antusias.

Kunaiki motor dengan setengah hati. Entah kenapa lidahku menjadi kelu. Jemari pun sedikit gemetar, sehingga perlu bantuan Asta untuk memasangkan klip helm.

“Gimana ini?” Mataku terus mencuri pandang ke arah rumah Gala.

Sebelum melewati portal kompleks, akhirnya aku berterus terang pada Asta. Bahwa sebenarnya aku tidak sedang menunggunya.

“Kalau gitu, kebetulan dong. Aku anter aja sekalian, kamu mau ke mana?” tanyanya tersenyum. 

Lesung pipi di pipi kanannya terlihat jelas ketika sedikit menoleh.

“Duh! Gimana ngomongnya ini!” Pikiranku sedang tidak santai. Memikirkan Gala dan janji kami.

“Asta, gue,” baru saja hendak jujur, kalimatku dipotong Asta.

Ia mempertanyakan baju kaos yang kukenakan. Yang bagiku tidak masalah. Namun, rupanya menjadi aneh dimata Asta. Ia malah mau mengajak untuk membeli pakaian sebelum mengantarku.

GalaBia [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang