Ayah

11.3K 1K 166
                                    

"Tadi ayah bilang apa?" tanyaku, terkejut dengan ucapannya barusan.

"Ayah gak ngomong apa-apa," elak Ayah.

"Jelas banget tadi aku denger ayah bilang, itu jauh lebih baik. Apa maksud ayah lebih baik aku cepat meninggal?"

"Demi Allah, ayah gak ngomong begitu, Syad."

"Jangan bawa-bawa nama Allah, Yah. Di sini gak ada siapa-siapa selain ayah sama aku," ucapku agak meninggikan suara.

"Astaghfirullah, Syad. Ayah gak bilang apa-apa."

"Jangan bohong, Yah!"

"Ya Allah, ayah gak bohong. Kamu ini kenapa sih?"

"Aku tuh sakit, Yah!" balasku, lalu menangis.

"Ayah panggilin dokter, ya?"

"Percuma dokter gak bisa nyembuhin sakit ini." Ayah bangkit, berniat memanggil dokter. "Jangan pergi ayah," cegahku.

"Kamu harus diperiksa dokter." Ayah ke luar dari ruangan.

Tangisku kembali pecah, tak menyangka apa yang Rani dan Leo ucapkan ternyata benar. Ayah akan menumbalkanku.

Kriet!

Pintu terbuka. Terlihat ayah berserta seorang Dokter dan perawat masuk ke dalam ruangan. "Jangan nangis, bilang mana yang sakit," ucap Ayah sembari duduk di dekatku.

Aku melirik ayah dengan tatapan tajam. Tak menjawab pertanyaannya tadi. "Apa mungkin itu efek benturan, Dok?" tanya Ayah.

"Bisa jadi karena trauma di kepala. Besok harus dibawa ke rumah sakit besar untuk di CT Scan," balas Dokter. Kemudian, ia mengambil sesuatu dari nampan besi yang dibawa perawat. Sebuah suntikan.

"Sekarang saya kasih obat pereda sakit dulu ya, Pak." Dokter menyuntikan obat itu ke lenganku. Kemudian ia mengobrol sebentar dengan ayah.

Mataku tiba-tiba semakin berat. "Ayah," panggilku pada ayah yang sudah kembali duduk di dekatku.

"Ya, Syad," balasnya.

"Kepalaku gak sakit." Kelopak mataku mulai menutup perlahan. Namun, aku mencoba menahannya dengan sekuat tenaga. "Ayah, aku sakit hati. Kenapa ayah tega ngelakuin ini."

Kelopak mataku semakin berat. Bahkan kali ini sulit untuk terbuka lagi. "Semuanya demi keluarga kita, Syad." Terdengar suara ayah sebelum aku kehilangan kesadaran.

__________

Aku berdiri di depan rumah. Rumah yang tampak lebih bersih dan terawat.

Kriet!

Pintu depan terbuka. Dari dalam, ayah berjalan ke luar, menyambutku dengan senyuman. "Kenapa diem di luar aja, Syad?" tegurnya.

Entah kenapa ada sebuah keraguan dalam diri untuk melangkah masuk ke dalam. Sementara itu, ayah datang menghampiri. "Ayo masuk," ucapnya sembari mengulurkan tangan.

Kusambut uluran tangannya, kemudian berjalan masuk ke daam rumah. Suasana di dalam pun terlihat berbeda, lebih terang. "Ibu sama Hamid mana, Yah?" tanyaku.

"Ibu sana Hamid lagi ke pasar," balas Ayah.

Kami pun berjalan ke rumah tengah. Terihat seseorang sedang duduk di sana. "Kenalin ini boss ayah," ucap Ayah.

Aku berdiri sembari menatap pria paruh baya di hadapan. Rambutnya panjang dan berwarna putih. Sorot matanya begitu tajam, mengarah padaku. Ia berdiri seraya mengembangkan senyum. Entah mengapa, senyumnya terlihat begitu menakutkan. "Kenapa berdiri di sana aja? Sini duduk bareng, Om," ucapnya.

"Aku mau ke atas aja, Yah," balasku.

"Temenin boss ayah ngobrol sebentar," perintah Ayah seraya berjalan ke depan.

"Ayah mau ke mana?" tanyaku.

"Jemput Ibu sama Hamid."

"Aku ikut!" ucapku seraya mengerjarnya.

"Motornya gak cukup," sahut Ayah sembari menutup pintu depan.

"Nggak usah takut sama Om," ucap Lelaki yang lebih pantas disebut kakek itu. Kini ia berdiri tepat di belakangku. Ia membungkukan tubuhnya, sejajar denganku. "Om gak gigit kok," ucapnya sembari mengulurkan tangan.

"Aku mau ikut ayah," balasku seraya membalikan badan dan berlari ke pintu.

Krek!

Pintu terkunci. "Ayah kamu udah pergi," ucap Lelaki tua itu, sembari berjalan perlahan ke arahku.

Dug! Dug! Dug!

Aku menggedor-gedor pintu, "Ayah!"

"DIA SUDAH PERGI!" sentak Lelaki tua itu. Sontak, aku merapat ke pintu. Menatap wajahnya yang berubah menjadi gelap.

Ia kembali mengulurkan tangannya, ingin menangkapku. Namun, aku berhasil menghindar dan berlari ke ruang tengah.

"KAMU TIDAK AKAN BISA LARI ARSYAD!" teriaknya, lalu tertawa kencang.

Aku berbelok ke arah tangga, kemudian naik ke atas dan masuk ke kamar.

DUG! DUG!

Pintu kamar digedor dengan kencang. "KELUAR ATAU SAYA DOBRAK!"

BRUG!

Terdengar suara benturan keras di pintu. Sontak, aku berlari ke pojok ruangan, dekat meja belajar.

BRUG! BRAK!

Pintu terbuka lebar. "MAU KEMANA KAMU!" hardik Lelaki tua itu yang wajahnya semakin menghitam, seperti terbakar. Perlahan, ia berjalan mendekat.

Kubuka jendela yang berada di sampingku. Kemudian melompat ke luar. "ARGH!" teriakku.

BRUK!

Aku mendarat di tanah, lalu bangkit. "Aw!" Pergelangan kakiku terasa sakit sekali. Dengan langkah terpincang-pincang, aku berjalan ke depan rumah.

"Arsyad!" Ayah sudah menyambut saatku melangkah ke halaman depan. Spontan, aku memeluknya dan menangis. "Kenapa kamu kabur?"

"Bos ayah jahat," balasku.

Ayah melepas pelukanku. Kemudian mengangkat tubuhku perlahan. "Bos ayah orang baik," bisiknya seraya berjalan ke teras.

"Ayah, aku gak mau masuk ke dalam!" teriakku meronta-ronta. Namun, genggaman ayah begitu kuat mengunci tubuhku hingga sulit bergerak bebas.

Pintu terbuka. Terlihat lelaki tua — bos ayah, yang wajahnya sudah kembali normal. "Sudah saya bilang kamu tidak bisa lari."

"Ayah, lepasin!" Aku terus meronta-ronta. Namun, ayah tidak memperdulikannya. Ia terus membawaku ke ruang tengah. Di sana sudah ada meja berwarna hitam pekat. Di sekelilingnya ada banyak makhluk yang begitu menyeramkan.

Ayah membaringkanku di atas meja, lalu mengikatku. "Selesaikan tugasmu," ucap Lelaki tua itu sembari menyerahkan sebuah pisau.

"Ayah! Jangan!" teriakku, menangis. Sambil berusaha melepaskan ikatan. Nihil. Ikatannya terlalu kuat. "Ayah! Ini Arsyad. Anak ayah!"

Ayah menatapku tajam. "Ini persembahan saya," ucapnya sembari menusukan pisau ke jantungku.

ARGH!

Aku terbangun dari tidur dengan napas ngos-ngosan dan jantung berdetak kencang. "Ada apa, Syad?" tanya Suara yang berada di sampingku.

Aku menoleh,"Ayah, aku takut."

"Takut kenapa?"

"Tadi mimpi serem banget."

"Mimpi apa?" tanya Ayah sembari mengelus rambutku.

"Mimpi kalau ayah ...." Kuhentikan ucapan saat melihat mata ayah yang berubah menjadi merah.

"Nusuk jantung kamu?" bisiknya, lalu tangannya bergerak ke leherku.

"Ayah."

"Stt." Ia mulai mencekikku.

BERSAMBUNG

*

Mau baca lebih cepat? Bisa di aplikasi Joylada dan KBM aplikasi. Judul cerita dan Nama Authornya sama.

RUMAH DUKUNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang