Air Hitam

8.1K 823 16
                                    

"Ayah!" teriakku.

Punggungku terasa dingin, menjalar hingga ke bagian perut. Dadaku mulai terasa sesak, seperti ada yang menghimpit.

Dug! Dug!

Kugedor-gedor pintu, sembari merapa doa. Sementara itu, dadaku semakin sesak. Kepala pun mulai terasa pusing.

"AYAH!" Aku berusaha teriak sekuat tenaga.

Dug!

Tubuhku roboh, terduduk di lantai.

"Syad!" Terdengar suara ayah memanggilku.

Krek! Krek!

Gagang pintu bergerak-gerak dengan cepat, diikuti suara ketukan. "Ayah," ucapku lirih.

Dug!

"Syad!"

Kesadaranku pun perlahan menurun. Mencoba berdiri dan meraih gagang pintu, tapi tak bisa. Aku sudah lebih dulu tak sadarkan diri.

_________

Kurasakan sentuhan di pipi. Saat membuka mata, terlihat Hamid sedang duduk di dekatku. "Akhirnya kakak ke sini lagi," ucapnya seraya tersenyum.

Aku bangkit, seraya mengedarkan pandangan. Hanya terlihat tembok bercat hitam di sekitarku. "Ini di mana?" tanyaku.

"Tempat mereka menyimpan persebahannya," balas Hamid.

Entah kenapa, aku agak heran dengan kata-katanya. Mana mungkin ia tau hal seperti itu? Perlahan, aku menjaga jarak darinya. "Hamid," panggilku.

"Ya, Kak," balasnya seraya menatap tembok.

"Kamu inget sama mobil-mobilan yang kakak kasih?"

"Inget, Kak."

Padahal aku belum pernah memberinya sebuah mobil-mobilan. "Warna apa?" tanyaku.

"Hitam," balasnya.

Aku melangkah mundur, semakin jauh darinya. "Siapa kamu sebenernya?"

"Kamu sudah tau?" Hamid membalikan badan, menatapku dengan sorot mata berwarna merah. Jemari tangannya membesar, diikuti kuku yang memanjang. Mulutnya menganga, menunjukan gigi taringnya.

Kini seluruh tubuhnya sudah dipenuhi rambut berwarna hitam. Ukuran tubuhnya pun perlahan membesar. "Kak Arsyad." Ia menirukan suara Hamid.

"Dasar manusia bodoh, gampang sekali tertipu," imbuhnya, dengan suara yang besar.

"Jangan-jangan, kamu ini ...."

"Anak Iblis," potongnya, lalu tertawa.

"Ayah bilang sudah menyiapkan wadah agar saya bisa kembali lagi. Tapi ternyata, keluarga kamu cukup kuat, hingga bisa membuatnya kerepotan."

"Wadah?"

"Kamu adalah wadahnya. Tapi jika ayah tidak bisa mendapatkanmu, maka ia akan terpaksa membunuhmu."

Aku melangkah mundur, saat Anak Iblis itu berjalan mendekat. "HAHAHAHA!" Ia tertawa kencang. Seketika itu, wajah-wajah manusia mulai bermunculan dari balik tembok. Mereka menjerit kesakitan, menangis dan meminta tolong padaku.

Spontan, aku menutup mata dan telingaku. Tiba-tiba suasana menjadi hening. Kubuka mata. Anak Iblis itu sudah ada di hadapan. Ia memegang tubuhku, agar tidak bisa bergerak.

RUMAH DUKUNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang