Kami Ingin Darah

10.8K 1K 31
                                    

"Di!" ucapku seraya melepaskan cekikannya. Bagas pun ikut membantu. Namun, tenaga kami seperti tidak ada apa-apanya. Sementara, cekikan Ardi semakin keras.

Ardi melepaskan satu tangannya dari leherku. Kemudian memukul Bagas hingga ia terpental. "KAMU BELUM MATI JUGA!" ucap Ardi.

Aku menatap wajahnya yang terlihat sangat pucat. Kemudian membaca doa sekecang mungkin. "BERISIK!" Ardi mulai melonggarkan cengkeramannya. Sontak aku langsung menepis tangannya dan melangkah mundur. Lalu kembali merapal doa bersama Bagas.

"MID!" teriakku memanggil Hamid. Tak lama ia menyahut dan membuka pintu. Ia langsung ketakutan saat melihat Ardi. "Panggil ibu. Cepetan!" perintahku.

Hamid pun pergi. Sementara aku tak melepaskan sedikitpun pandangan pada Ardi. Entah sosok apa yang merasukinya. Apa si Wanita bermata merah atau makhluk hitam yang tadi siang ada di pohon mangga.

Tak lama kemudian, ibu dan Hamid datang ke kamar. "Astaghfirullah," ucap Ibu saat melihat Ardi.

"Bu, tolong pegangin Ardi," pintaku sembari mengambil segelas air di atas meja. 

Ibu mendekati Ardi, sembari merapal doa. Namun, ia berontak, hampir memukul wajah ibu.

Di sisi lain, Bagas juga ikut mendekati Ardi. "JANGAN MENDEKAT!" ancamnya sembari melotot ke arah Bagas. Sementara aku mulai membaca ayat-ayat rukiyah sambil memegang segelas air.

Ibu berhasil memegang tangan kanan Ardi. Begitu pula Bagas yang memegang tangan kirinya. "Cepetan, Syad. Gua gak kuat," ucap Bagas.

Aku berjalan mendekat. Kemudian mengusapkan air yang sudah dibacakan ayat-ayat rukiyah ke wajah Ardi. "PANAS!" teriak Ardi.

"Keluar!" ancamku, lalu kembali mengusapkan air ke wajahnya.

"ARGH! PANAS!"

Aku terus mengusapkan air itu, sembari membaca ayat kursi dengan suara lantang. Dibantu oleh ibu dan Bagas. "Keluar!" pintaku.

"HAHAHAHA!" Ardi malah tertawa kencang. "Kamu pikir itu bisa mengusirku?" ucapnya sembari mengibaskan tangan kirinya. Seketika itu, tubuh Bagas ambruk.

"Gas!" teriakku. Namun ia sudah tak sadarkan diri.

"DIA DATANG!" teriak Ardi.

Tak lama, Ayah datang ke kamar. "Astaghfirullah."

Ardi tertawa sambil menatap ayah. "MAU KAMU PILIH YANG MANA," ucapnya sambil menatap ayah. Ia menatapku, "ANAK INI." Lalu menatap Hamid. "ATAU ANAK INI!"

Ayah merebut segelas air dari genggamanku. Kemudian duduk di kasur dan berhadapan langsung dengan Ardi.

Berkali-kali, ayah mengusapkan air ke kepala Ardi, hingga membuatnya menjerit kesakitan. "AKAN SAYA AMBIL SALAH SATU DARI KALIAN!" ancamnya, lalu kembali menjerit.

Tak lama, ada asap putih yang ke luar dari ujung kepala Ardi. Seketika itu, ia tak sadarkan diri. Ayah masih merapal doa, lalu mengusapkan air ke tangan dan kaki Ardi. "Usapin ke Bagas juga," perintahnya padaku.

Setelah diusapkan air,  Bagas kembali tersadar. "Syad," ucap Bagas.

"Lu napa pingsan," balasku.

"Nggak tau, tiba-tiba aja semuanya jadi gelap."

Sementara itu, Ardi masih belum juga sadar. "Bu, ambilin anduk kecil," pinta Ayah.

RUMAH DUKUNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang