"Untuk hari ini Papi maafkan. Besok-besok, siapa yang kasih Sana uang, akan Papi kurangi uang jajannya sesuai dengan yang kalian kasih ke Sana."
Ke-empat anak-anak Saka tidak berani menjawab ataupun membantah. Naka yang memakan sarapan paginya dengan tenang, begitu juga dengan Nasa dan Kana. Sedang Sana, gadis itu benar-benar tidak berselera makan. Nasa ketangkap basah memberi uang jajannya pada Sana. Kemudian pagi ini yang harusnya dilalui sarapan dengan tenang menjadi penuh ketegangan.
Tidak tegang-tegang sekali, sih, sebenarnya Karena Saka yang masih bicara. Lain cerita kalau sudah sang Nyonya rumah. Pasti tidak akan ada yang bisa menguyah dengan benar saking tegangnya.
"Adek," panggil Saka pada Kana. Gadis remaja itu kemudian menoleh menatap papinya. "Adek juga nggak boleh kasih Kak Sana uang. Mengerti?"
Kana mengangguk. Meski pun begitu, Saka tidak yakin. Karena Kana mudah sekali dimanipulasi. Apalagi oleh Sana. Tinggal memberi wajah memelasnya, Kana pasti sudah kasihan.
"Naka dan Nasa juga. Kemarin yang terakhir. Bukan Papi mengajari kalian saling pelit sama saudara. Tapi Sana sedang diberi pembelajaran supaya lebih dewasa."
Keduanya mengangguk.
"Papi kasih hukuman ini bukan nggak sayang sama kamu, Sana. Justru karena Papi sayang." Kali ini tatapan Saka beralih pada Sana yang masih cemberut. "Mungkin kehidupan kita saat ini sedang dikasih lebih sama Tuhan. Tapi kehidupan itu berputar, Nak. Nggak selamanya kita di atas. Papi juga nggak suka kalau Sana sering liburan, party, shopping, menghabiskan uang dengan sia-sia kayak gitu."
Sana menunduk. Dia tahu yang dilakukannya salah. Menghabiskan uang begitu banyak hanya untuk kesenangannya. Tapi apa hukumannya harus separah ini? Dari kecil Sana tidak pernah diberi batasan uang jajan. Tidak pernah kekurangan dan selalu terpenuhi apa yang diinginkannya. Wajar kan kalau Sana tidak terima tiba-tiba diberikan hukuman seperti ini. Sana juga tahu kalau kehidupan itu berputar. Tapi kan, roda keluarganya masih di atas. Sana juga selalu berdoa, kok, supaya roda kehidupan keluarganya selalu di atas. Terutama dari segi ekonominya.
"Papi mau dari hukuman ini Sana belajar. Dan juga kalian semua bisa belajar." Saka melanjutkan petuahnya. "Belajar yang benar, setidaknya untuk diri kalian sendiri. Mengerti?"
"Mengerti, Papi," hanya Kana yang menjawabnya.
Saka tersenyum. Laki-laki itu kemudian mengusap lembut rambut putrinya yang sudah rapi mengenakan seragam sekolahnya. "Adek juga belajar yang bagus, ya. Jangan terlalu banyak baca novel sihir-sihir itu."
Kana tidak menjawab. Kalau itu dia tidak bisa menjamin.
"Naka juga. Sudah di kelas 3. Belajarnya harus lebih giat. Jadi mau ambil kedokteran kayak Kak Nasa, kan?"
Naka mengangguk. Sejak kecil dia selalu mengagumi ayahnya yang berprofesi sebagai seorang dokter. Lalu ketika Nasa juga mengambil kedokteran, maka Naka juga akan melakukan yang sama.
Sarapan pagi itu kemudian dilanjutkan dengan petuah-petuah Saka yang menasehati ke-empat dengan Sana yang memasang wajah cemberutnya selama sesi sarapan berlangsung.
*__*
Jika biasanya saat sedang tidak ada kuliah Sana akan melarikan diri windows shopping ke mall atau bermalas-malasan di rumah sembari melihat-lihat online shop, kini kegiatan Sana menjadi lebih produktif. Gadis itu sudah duduk di kursi kerja milik dosennya dan tengah menatap laptop dengan serius. Tadi malam, Bhumi sudah memberitahu letak-letak file serta informasi lain untuk Sana mengerjakan pekerjaannya.
Kemudian di sinilah Sana berada. Sudah sekitar empat jam lebih merekap tugas mahasiswa-mahasiswa Bhumi dan juga selesai memeriksa kuis lalu membaca beberapa jilid makalah. Sana merenggangkan otot-otot tubuhnya. Lelah juga rasanya duduk berjam-jam sembari membaca makalah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bumi Milik Sana
ChickLitSana dihukum setelah menghabiskan uang ratusan juta dalam waktu singkat, semua fasilitasnya dicabut dan hanya diberikan uang bulanan secukupnya. Kepepet membutuhkan uang tambahan, Sana menyetujui tawaran dosen killer-nya, Bhumi, untuk menjadi asiste...
Wattpad Original
Ada 4 bab gratis lagi