Bab 11

4 0 0
                                    


Nindya, Winda dan Bella sedang berada disebuah cafe kecil di sudut kota. Cafe khusus yang menyediakan beberapa menu makanan khas Korea. Ketiganya sengaja memilih tempat itu untuk berhalusinasi, betapa bahagianya jika waktu mengijinkan mereka berlibur di negeri yang terkenal akan drama Koreanya.

Senda gurau menghiasi makan malam mereka. Beberapa jenis hidangan khas Korea berjejer di atas meja. Percakapan-percakapan ringan terlontsr dari bibir ketiga gadis itu.

"Sebenarnya gimana sih, Nin? Apa iya kamu sudah memiliki perasaan terhadap Dion? Aku sebenarnya tidak yakin dengan itu." Wina terlihat mulai serius menanyakan perasaan Nindya kepada Dion.

"Lalu perasaanmu kepada Andy gimana? Apa iya bisa hilang begitu saja? Bukankah dia cinta pertamamu? Bella ikut bertanya.

Nindya terdiam sesaat, bahkan ia bingung dengan perasaannya sendiri. Ia menghela napas pelan sebelum memberikan jawaban dari kedua sahabatnya. " Sebenarnya, dengan Dion, aku tak ada perasaan sedikitpun. Entahlah, mungkin ini hanya perasaan senang. Jujur aku tidak pernah berpacaran dan ini adalah yang pertama kali."

"Sudah terlalu lama aku memperjuangkan cinta Om Andy, bahkan sudah dari sejak aku ingusan. Yang bisa ku katakan itu adalah cinta monyet, seperti kata papaku. Aku juga tidak paham, bisa-bisanya aku bertahan dengan perasaan yang sama sampai bertahun-tahun. Sekarang, tiba-tiba ada seorang pria yang mengatakan bahwa ia mencintaiku, menginginkanku. Itu sungguh terasa sangat menyenangkan tapi jujur hatiku tak pernah bisa berpaling. Apa kalian paham kenapa aku bisa seperti itu?" lanjut Nindya.

"Aku rasa, semua karena kamu sudah terlalu lama memendam perasaan. Eh ... Bukan memendam sih ... Ya karena memang kamu sudah terlalu lama memiliki perasaan padanya aja dan lagian, kenapa sih kamu enggak bisa move on?" Kali ini Bella yang biasanya oot seakan-akan terlihat bijaksana.

"Benar juga kata Bella. Eh ... Tapi ngomong-ngomong, kenapa kamu jadi pintar sekali Bell?" Wina mengulum senyumnya, hampir saja ia keceplosan dan tertawa.

"Menurutku ... sebaiknya kamu coba belajar untuk mencintai Dion. Bagaimanapun, dia pria yang baik loh! Coba kamu perhatikan, selama ini dia sangat setia sekali menemanimu, bahkan di saat-saat kamu sedang patah hati pun cuman dia yang ada di sampingmu. Iya kan? Aku rasa dia benar-benar tulus mencintaimu," lanjut Wina.

"Aku bingung, harus melakukannya dengan cara apa?"

"Cukup kamu abaikan keberadaan om Andy. Mulailah fokus kepada Dion. Sering-seringlah berkomunikasi dengannya dan selalu tanggapi setiap ungkapan perasaan. Jangan pernah kamu abaikan. Satu lagi, kalau kamu bertemu dengan om Andy coba kamu cuek, jangan terlalu meresponnya, berbicara secukupnya saja, tak usah panjang lebar. Aku percaya, jika kamu berhasil melakukan itu, maka perasaan lama-lama akan hilang." Masih Wina yang memberikan Nindya saran.

Diamnya Bella membuat dua gadis lainnya saling bertatap, kemudian mereka berdua melirik ke arah Bella. Gadis itu Tengah fokus dengan ponselnya, membuat Nindya dan Wina curiga.

"Win ambil," gumam Nindya pelan, ia memberi isyara agar Wina mengambil ponsel dari Bella.

Hup!!

"Berhasil!" pekik Wina yang sudah berhasil merampas dan memegang ponsel Bella.

"Wina, kembalikan!" pekik Bella dengan sedikit keras.

[Sayang, lagi apa? Jangan main sampai larut, ya?] sebuah pesan itu dibaca oleh Wina. Matanya membulat sempurna saat membaca nama pengirimnya.

"Bella, kamu pacaran sama Bayu? Ternyata, diam-diam. Kapan kalian jadian?" tanya Wina menatap Bella seraya mengembalikan ponselnya.

"Apa? Aku ga salah dengar?" Nindya ikut bertanya.

Bella menggaruk tekuknya yang tak gatak, ia senyum-senyum tanpa arti, matanya menatap kebawah seperti malu-malu. "Itu, anu, apa ... Baru saja kok."

"Kok kayak orang gagap kamu jawabnya? Beneran kamu pacaran?" tanya Nindya meyakinkan.

"Jelas banget, Nin. Kamu sudah dengar sendiri bukan tadi pesannya Bayu yang aku bacakan!" Wina melipat kedua tangannya di dada.

Kali ini Bella seakan-akan menjadi tersangka! Kedua temannya menatap nanar ke arahnya. Tangan Wina dan Nindya sudah terlipat di depan dada. Keduanya duduk di di hadapan Bella memasang wajah yang penuh tanda tanya.

"Cerita, sejak kapan?" tanya Nindya sekali lagi.

"Baru dari kemarin," jawab Bella pelan.

"Kok bisa sih?" Wina ikut melemparkan pertanyaan.

"Bisa aja dong, kalian gimana sih? Aku yang pacaran tapi kenapa kalian tidak percaya!" Bella mulai seweot.

Ninda dan Wina kembali saling pandang, kemudian ia menatap ke arah Bella sekali lagi.

"Wina, Nindya, dengar ya. Karena cinta apapun bisa terjadi. Begitupula dengan aku dan dan Bayu. Iya kan? Kami sama-sama mencintai dan sudah berjanji tidak akan menghianati." Bella jujur mengakui perasaannya.

"Sudah, Ah ... Biarkan Bella dan Bayu bahagia. Besok giliran dia yang harus membayar pajak jadian. Yuk kita lanjut, saatnya berfoto menggunakan hanbok." Nindya menggeser kursi dan berdiri, mengajak kedua temannya bergegas, namun ia tiba-tiba terhuyung, kakinya menyandung salah satu sisi meja. Ia terjungkal.

Hap! Seorang pria menangkapnya cepat. Andy, ah ... Lagi-lagi pria itu yang tiba-tiba muncul.

"Om Andy? Kok bisa di sini?" Nindya sedikit terkejut mendapati pria yang baru saja dibicarakan kini ada dihadapannya.

"Sudah jam berapa ini, Nin? Tidak bisakah kamu tidak merepotkan Om?"

"Yang suruh Om ke sini siapa? Aku ga ada nyuruh Om datang!"

"Papamu, ia khawatir!"

"Astaga, Nindya sudah besar! Masih aja di perlakukan seperti bayi, sebentar."

Nindya meraih ponselnya, hendak menghubungi nomor ponsel papanya. Namun dalam hitungan detik ponsel itu sudah diraih Andy.

"Tidak perlu menelpon papamu, sebaiknya kita pulang."

"Om, Nindya lagi sama teman-teman, tidak usah aneh-aneh deh. Urus aja pacar om sendiri, itu si tante galak. Ga usah memperhatikan aku."

Nindya menarik lengannya yang digenggam Andy, kemudian meraih tangan kedua temennya, menariknya dan mengajak keduanya menjauh pergi. "Kita pergi, foto-fotonya belakangan aja deh," ucapnya.

Andy sudah mengikuti Nindya sejak gadis itu pergi sore tadi. Entah kenapa hatinya takut jika Nindya salah pergaulan. Padahal dengan kekasihnya, Raya ia tidak terlalu peduli sedikit pun.

Ini pertama kalinya Nindya menolaknya, tak seperti biasa. Andy tak mendengar jelas percakapan gadis itu tadi dengan teman-temannya. Ia tak mendengar rencana Nindya yang hendak acuh padanya.

"Apa Nindya benar-benar akan melupakanku?"

"Apa dia benar-benar sudah jatuh cinta pada pria waktu itu?"

Andy bermonolog, namun tiba-tiba ia menggeleng-gelengkan kepalanya lalu melangkah pergi dari cafe. Sedari tadi ponselnya sudah berdering. Ah ... Raya selalu menerornya, menghubunginya setiap detik.

"Aku pulang sekarang!" ucap Andy, menjawab panggilan telepon dari Raya.

Udara malam menembus dada Andy yang hanya menggunakan kaos hitam polos itu. Ia teringat akan kejadian tadi, bagaimana bisa Nindya yang tak pernah menolaknya kini tiba-tiba acuh dan pergi meninggalkannya begitu saja. Andy sedikit cemas, hatinya terasa berdebar. "Ini ada yang salah," gumamnya dalam hati.

Bersambung....

Jadi Suamiku Ya, Om? (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang