Bab 7

9 0 0
                                    


Suara sendok dan garfu menghiasai sarapan pagi Rendi dan Nindya. Tak ada yang mengeluarkan sepatah katapun. Benak Nindya sedang dipenuhi oleh beberapa hal yang membuatnya bimbang.

Mimpi bertemu mama Almira semalam membuatnya yakin untuk mengijinkan sang papa menikah lagi. Sebenci apapun dia dengan calon kakak tirinya itu, baginya bukanlah suatu perkara. Yang terpenting saat ini adalah kebahagiaan papanya.

"Pa, Nindya merestui Papa." Akhirnya, Nindya membuka suara setelah ia menyelesaikan suapan terakhirnya.

Rendy terdiam, ditatapnya kedua bola mata gadis manis dihadapannya penuh kasih sayang. Memastikan apakah ada kebohongan disana. Nyatanya, tidak. Ucapan Nindya begitu tulus.

"Kamu yakin, sayang?"

"Nindya yakin, Pa. Kalau mama merestui, maka akupun akan merestui Papa." Nindya melemparkan senyum tulusnya kepada Rendy.

"Mama? Maksud kamu, apa?"

Nindya terdiam, sejurus kemudian ia kembali tersenyum. Ia menghela napasnya sesaat, lalu berucap, "Semalam, Nindya bertemu mama dimimpi. Mama meminta Nindya untuk merestui rencana pernikahan papa."

Mata Rendy tampak berkaca-kaca mendengarkan cerita putrinya. Tak pernah sedikitpun terbesit di benaknya untuk meminta restu pada almarhum Almira.

"Nindya, apakah sore ini kamu ada waktu luang?"

"Kenapa, Pa?"

"Nanti Papa kabari, Papa harus berangkat. Sudah terlambat. Kamu kuliah? Sama siapa?"

"Agak siang, Pa. Hati-hati, Pa." Nindya mencium punggung tangan Rendy. Pria itu benar-benar tampak terburu-buru.

Nindya membantu artnya membereskan meja makan. Kemudin gadis itu bergegas masuk ke kamarnya, mengambil tas juga ponselnya untuk berangkat ke kampus.

Hari ini Nindya memutuskan berangkat ke kampus dengan memesan gojek. Ia sedang malas untuk mengendarai sepeda motornya sendiri. Berkali-kali Dion menawarkan tumpangan padanya sejak semalam, namun Nindya menolak. Ia tak ingin jika Dion berharap lebih padanya.

"Lo, Nindya? Belum berangkat ke kampus?" Laki-laki yang di idolakan Nindya menyapa dengan ramahnya. Pria itu sedang menyiram tanaman kesayangannya tepat di depan rumahnya.

"Belum, Om. Ini baru mau jalan, masih nunggu gojek." Nindya menjawab sembari memainkan ponselnya, memesan gojek.

"Kok naik gojek? Motor kamu kemana? Trus yang jemput kamu? Cowok kemarin? Kok ga jemput lagi?" Dion melemparkan pertanyaan bertubi-tubi pada Nindya.

"Lagi malas naik motor sendiri, Om Andy. Cowok Nindya juga ga jemput, aku ga ngasi. Ga enak kan, di jemput terus. Kasian orangnya." Nindya beralibi, padahal jelas ia tak ada hubungan apapun dengan Dion.

"Om sendiri, kenapa ga jemput tante?" Nindya balik bertanya.

"Eh, maaf, Om. Lanjut nanti ya, jemputan Nindya sudah datang."

Gadis itu berlalu bersama gojek yang ditumpanginya. Hatinya sungguh gelisah. Ia memang sudah mengikhlaskan papanya untuk menikah, ia hanya tak pernah bisa membayangkan, apa yang akan terjadi jika ka harus hidup 1 rumah dengan Raya.

Wina, Bella, Dion dan Bayu ditambah dengan Nindya, kelima sekawan itu sudah duduk di kantin setelah menyelesaikan kuliah mereka. Semua mata memandang ke arah Nindya, berharap gadis itu menceritakan sesuatu.

"Apa? Hatiku? Hatiku baik-baik saja, mungkin sebentar lagi aku harus menerima kenyataan. Menerima mama baru juga saudara baru." Nindya mengaduk-ngaduk es kelapa muda kw yang ada dj hadapannya.

"Terus, kamu bagaimana?" tanya Bella dengan polosnya.

"Bagaimana apanya?" tanya Nindya bingung.

"Mungkin maksud Bella, bagaimana hubungan kamu dengan Andy. Ya kan Bell?" Wina memperjelas kemudian melirik Bella, meminta kepastian padanya.

"Ya, itu maksudku!" jawab Bella.

"Sebaiknya jangan bahas itu kalau itu menyakitkan. Kita berkumpul untuk bersenang-senang bukan? Jadi mari membicarakan hal-hal yang membuat hati kita bahagia " ucap Dion.

"Sesekali kita camping bareng, gimana?" usul Bayu.

"Boleh, boleh, aku suka itu." Nindya menyetujui usul Bayu.

****

"Gimana? Apakah kamu sudah berhasil membujuk Raya?"

Rendy kini sudah bersama denga Kiara, mama Raya. Mereka sengaja bertemu diam-diam untuk membicarakan rencana pernikahan yang akan dilaksanakan dalam waktu dekat.

"Raya bilang sih, setuju tapi aku rasa dia belum bisa tulus," jawab Raya.

"Tadi pagi, Nindya bicara padaku. Dengan lugas ia mengatakan dirinya merestui hubungan dan rencana pernikahan kita. Katanya almarhum istriku menemuinya tadi malam."

"Terus?"

"Ya, Nindya bilang, kalau Almira memintanya untuk merestui hubungan kita."

"Syukurlah, kalau almarhum mbak Almira merestui kita. Jadi sekarang gimana? Apa sebaiknya acara dipercepat?" Kiara meraih tangan Andy, ia menggenggam lembut pria bertubuh kekar itu.

"Kita adakan acara kecil-kecilan saja, pernikahan cukup dihadiri oleh keluarga saja. Tak perlu acara mewah. Kamu setuju?"

"Tentu saja, sayang."

Rencana pernikahan Rendy dan Kiara disusun, tanggal pun telah ditetapkan. Tinggal 2 bulan lagi, hari yang ditunggu itu akan tiba. Nindya dan Raya pun sudah mengetahui itu.

Nindya sendiri sangat bahagia turut sibuk membantu sang papa mempersiapkan segalanya, namun tidak dengan Raya yang masih kurang ikhlas menerima kenyataan jika sebentar lagi ia akan menjadi kakak tiri dari Nindya.

Wajah cemberut kerap kali ditunjukkan di hadapan mamanya. Ia masih tidak percaya dengan takdir yang ditentukan kepadanya.

"Pa, semua sudah beres? Ada yang kurang?" tanya Nindya.

"Tidak! Terimakasih, Nindya. Papa bersyukur memiliki kamu."

"Boleh Nindya minta syarat?"

"Apa?" Rendy menaikkan kedua alisnya. Tiba-tiba saja Nindya menyatakan syarat untuk pernikahannya.

"Kalau Papa sudah resmi menikah dengan tante Kiara. Tolong, perlakukan aku sama dengan Raya. Aku takut Papa malah tidak peduli dengan Nindya. Aku takut Papa malah lebih sayang ke Raya atau bahkan anak Papa dengan tante Kiara nanti." Nidnya mengungkapkan ketakutannya.

Gadis itu memang sering menonton berita. Ia juga sering menonton film di stasiun tv ikan terbang yang kerap kali menyayat hatinya dan membuatnya menangis. Mungkin dari sana pikiran buruk jadi muncul di kepala Nindya.

"Astaga! Nindya, anak Papa. Tentu saja papa akan tetap memperlakukan kamu dengan baik, nak. Kamu anak Papa satu-satunya, mana mungkin Papa tega memperlakukan kamu tidak layak. Ini nih, kebanyakan nonton sinetron jadi gini, ya kan?"

"Heheheh ... Hehehe ... Maaf, Pa."

Nindya tidak pernah tahu, sejauh mana rasa bahagia itu akan menghampirinya. Ia percaya apapun bisa berubah. Dijatuhkannya tubuh kecil itu pada dekapan sang Papa. Dipeluknya lelaki yang sudah membesarkannya.

"Nindya sayang Papa," ucapnya lirih.

"Papa juga sayang Nindya." Pucuk kepala Nindya dikecup Rendy lembut. Kemudian pria itu mengusap-usapnya.

Lega. Itu yang ia rasakan, gadis kecil yang ia besarkan dan ia didik sudah menjadi gadis yang sungguh luar biasa.

'Mamamu pasti bangga melihatmu dari surga, Nindya.' gumam Rendy sambil mendekap putrinya.

Malam semakin larut. Rendy menggotong tubuh putrinya yang sudah terlelap di pelukannya itu ke dalam kamar tidurnya. Perlahan ia meletakkan Nindya di atas ranjang, menutup tubuhnya dengan selimut. Kemudian ia mengecup kening putrinya dan berbisik, "Mimpi indah, sayang."

Bersambung....

Jadi Suamiku Ya, Om? (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang