Bab 14

4 0 0
                                    


Ulang tahun mama Almira.

Pagi ini Yunda diingatkam oleh kejadian beberapa tahun silam. Di mana ia memberikan kejutan untuk mamanya sebagai ucapan selamat ulang tahun. Gadis itu teringat, bagaimana ia dan papanya memberikan kejutan kepada sang mama.

"Ma ... Papa sudah punya keluarga baru. Aku tidak tahu, apakah papa masih mengingat ulang tahun mama hari ini," gumam Nindya dalam hati.

Hari ini adalah hari minggu. Nindya tidak memiliki jadwal kuliah di hari libur. Rencananya ia akan merayakan hari ulang tahun mama Almira dengan mengunjungi makam wanita yang sudah melahirkanya itu.

Gadis itu bergegas masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan dirinya, kemudian berganti pakaian dan memoles make up tipis di wajah cantiknya. Setelah ia menggendong tas kecil di punggungnya kemudian memasukkan ponsel di saku celananya, Nindya bergegas keluar dari kamarnya dan menuju meja makan.

Papa dan mama sambungnya sudah duduk di sana. Ada Raya juga di meja yang sama.

"Selamat pagi, Pa, Ma," sapa Nindya pada kedua orang tuanya kemudian ia duduk dengan sekat 1 kursi dari Raya.

"Pagi-pagi kamu sudah cantik, sudah rapi nih, Nindya mau kemana?" tanya Rendy, sang papa.

"Papa lupa ya, hari ini hari apa?" Nindya balik bertanya.

"Maksud kamu apa? Apa, Nindya?" Rendy terlihat bingung.

"Hari ini ulang tahun mama Almira," jawab Nindya singkat.

"Kita sarapan dulu ya," mama Almira kemudian mulai mengisi piring semua keluarga dengan nasi beserta lauk pauknya. Iya tak mau membahas masalah hari ulang tahun mantan istri sang suami yang sudah meninggal. Ia takut akan menjadi keributan di pagi hari.

"Nindya berangkat, Pa." Gadis itu berpamitan, ia mencium punggung tangan sang papa kemudian mencium tangan mama sambungnya. Tak ada sepatah katapun yang disampaikan oleh Rendy, itu jelas membuat hati Nindya terluka.

"Benarkah, papa sudah melupakan mama secepat itu?" gumam Nindya dalam hatinya.

"Ke mana nih hari minggu? Pagi-pagi sudah cantik," tanya Andy. Pria itu tengah asyik menyiram kebun bunga yang ada di depan rumahnya.

"Ke makamnya mama,* jawabnya singkat.

"Sendiri?"

"Engga, sama genderuwo. Ihh ... Lalu sama siapa lagi, Om? Papa sudah punya keluarga baru, sepertinya dia Sudah melupakan mama."

"Tidak seperti itu Nindya. Om yakin papamu selalu mengingat mamamu, hanya saja ia ingin menjaga perasaan tante Almira."

"Udahlah, aku pergi ya ... Bye ...."

Udara pagi yang begitu sejuk, mentari bersinar cerah. Kehangatan memasuki jiwa, seharusnya orang-orang terlihat begitu bahagia seperti bunga-bunga yang bersamai, karena musim yang begitu indah. Namun jauh berbeda dengan Nindya, hati gadis itu terasa begitu sakit.

Sepanjang jalan menuju makam sang mama air matanya tak henti menetes. Ia tak sanggup menahan kesedihan itu lagi. Dirinya merasa telah kehilangan kasih sayang dari kedua orang tuanya. Rendy kini sudah membagi cinta kepada istri barunya juga anak tirinya.

Nindya sudah duduk di sebelah pusara sang mama. Entah sudah berapa lama ia tak berkunjung ke makam sang mama. Seingatnya terakhir kali ia datang bersama Rendy. Menyampaikan kelulusan dirinya dari sekolah menengah pertama.

"Ma, Nindya datang, tapi kali ini aku sendiri. Papa tidak ikut. Mama pasti sudah tahu kalau kini papa sudah punya keluarga baru. Jujur aku kecewa sama papa. Sama sekali belum terbaca di pikiranku, ma. Apakah papa sudah melupakan mama begitu saja?"

"Mama jangan marah ya? Nindya yakin papa masih sayang mama, hanya saja papa juga butuh pendamping hidup, ma. Jujur tanpa mama Ninja seperti kehilangan arah. Apalagi setelah papa menikah, Nindya seperti sendiri, tak tahu lagi harus bercerita pada siapa."

"Mama tahu nggak yang jadi saudara tiri Nindya siapa? Raya, ma. Aku pernah ceritakan sama mama siapa Raya? Hatiku semakin ngilu. Sekarang aku dan Raya tinggal 1 rumah dan aku berusaha menjadi adik yang baik untuknya."

"Sulit sekali rasanya. Apapun yang aku lakukan, ia tidak membenci ku, ma, tapi ya sudahlah aku mencoba sabar."

"Oh ya, ma. Sekarang aku sudah punya pacar. Namanya Dio, dia baik sekali ma. Dia sayang sama aku, perhatian dan sekarang kami memiliki pekerjaan paruh waktu bersama. Setelah pulang kampus aku selalu pergi ke cafe menjadi penyanyi di sana."

"Maaf, ma. Bukan maksudku ingin menjadi anak nakal, tidak sama sekali. Aku hanya menghindari pertemuan yang terlalu lama dan berlebihan dengan Rayan. Jadi, daripada kami bertengkar di rumah, lebih baik aku menghindar dan mengambil kesibukan sendiri."

"Aku sampai lupa tujuanku datang ke sini, bukan ini, tapi aku malah curhat sama mama. Aku cuman mau bilang, selamat ulang tahun ya, ma. Seharusnya salah, aku tidak tahu harus menyampaikan apa, sedangkan mama sudah tak panjang umur lagi. Yang jelas Nindya yakin, mama sudah bahagia di rumah Tuhan."

Gadis itu sudah menangis sedemikian rupa, ia memeluk batu nisan sang mama. Tak ada tumpuan lain lagi yang ia harapkan, bahkan Rendy yang satu-satunya menjadi keluarga kini sudah tak bisa diharapkan lagi.

"Sudah nangisnya? Kita pulang ya?" seseorang menegur Nindya.

Gadis itu bergegas berbalik ke arah suara. "Om Andy? Kenapa Om ke sini?" tanya Nindya di tengah isak tangisnya.

"Nindya, itu air mata sudah nyampur sama ingus, dasar cengeng." Andy berusaha mencairkan suasana. Ia kemudian memberikan sapu tangannya kepada Nindya.

"Makasih, Om ...." ucap Nindya seraya menerima saputangan yang diberikan oleh Andy padanya.

Sisa isak tangisnya masih terlihat. Gadis itu mulai menghapus air mata yang masih bercucuran." Om mau ngapain ke sini?" tanya Nindya sekali lagi.

"Aku rasa hatimu sedang kacau, makanya aku menyusulmu ke sini. Ada apa?" tanya Andy.

"Tidak apa-apa, hari ini hari ulang tahun mama Almira. Aku kecewa papa tidak ikut datang, walau sekedar menyapa mama."

"Sudah jangan terlalu dipikirin, aku yakin papa kamu memiliki alasan tersendiri kenapa dia tak bisa datang."

"Udah jangan sedih-sedih lagi, nanti tante Almira ikut sedih. Sekarang kamu mau ke mana? Ayo aku temenin," tawar Andy.

"Awas lho nanti ada yang marah," sindir Nindya.

"Udahlah, enggak usah dibahas. Masalah itu biar aku yang ngurus. Tenang saja, yang penting sekarang adikku ini nggak sedih dulu. Mau kemana?" tanya Andy sekali lagi.

"Adik? Jadi aku masih dianggap adiknya. Tidak apa-apa, mungkin karena dia berpikir akan menjadi suami Raya makanya dia menganggapku seorang adik," gumam Nindya dalam hati.

"Ya udah deh, kalau gitu kita ke pantai aja, gimana?" ajak Nindya.

"Ok."

Mereka berdua akhirnya menuju Pantai Pandawa dengan menggunakan kendaraan masing-masing. Terik matahari sudah semakin tinggi, namun, itu tak masalah bagi  Nindya, ada perasaan bahagia terbesit di hatinya, walau sedikit saja.

"Tidak apa-apalah kalau hanya dianggap adik saja, ditemani seperti ini saja aku sudah bahagia." gumamnya sepanjang jalan.

Pantai Pandawa keduanya sudah duduk di hamparan pasir putih menatap ombak. Beberapa kali Nindya berteriak mengeluarkan penat di hatinya, air matanya kembali menetes mengingat semua kenangan manis yang pernah ia lalui bersama Rendy juga Almira.

Tak ada yang dilakukan Andy padanya, ia membiarkan gadis itu mengeluarkan segala resah dan gelisah di hatinya. Sesekali pria itu mengelus punggung Nindya memberinya kesabaran.

"Nindya? Kamu ngapain di sini?"

Bersambung...

Jadi Suamiku Ya, Om? (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang