Bab 6

4 0 0
                                    

"Nindya" Semua menoleh ke arah suara, termasuk Nindya, jelas karena namanya yang di panggil.

"Eh ... Om Andy, kenapa ya?" tanya Nindya dengan santainya.

Andy melangkah mendekat ke arah Nindya, di belakangnya ada Raya yang mengekor, seakan-akan meminta perlindungan.

"Ya ampun, Om. Apakah tante Raya mengadu sama Om? Iya?" tanya Nindya curiga saat menyadari ada Raya di balik punggung Andy.

"Nin, Om minta tolong. Berhenti mengganggu Raya," ucap Andy dengan nada santai.

"Ganggu? Yang ganggu tante genit ini, siapa sih, Om? Om boleh tanya nih, sama yang ada di sini. Semua juga tahu siapa yang memulai." Nindya mengedarkan pandangannya, menatap satu persatu temannya meminta agar turut menjadi saksi tentang kejadian tadi.

"Liat tuh, sayang. Dia selalu saja menghinaku, makanya, kamu jangan dekat-dekat dia terus, aku jadi malas," rengek Raya, ia masih berada di belakang Andy, tangannya bergelayut manja dilengan Andy.

"Wow, hebat. Selain pinter memfitnah, kamu juga pinter merayu ya, Tante? Ya ampun, manjanya, uda kayak ratu. Gimana jadinya kalau benar nanti jadi kakak tiriku? Bisa stres lama-lama aku," cibir Ninyda.

"Apa? Kakak tiri? Maksud kamu apa, Nindya?" Andy tampak bingung, ia menatap Nindya kemudian menoleh ke arah Raya, tatapannya seakan-akan meminta penjelasan atas apa yang diucapkan Nindya.

"Tanya aja sama Tante, Om. Maaf ya aku sibuk, banyak urusan." Nindya memberi kode kepada teman-temanya, mereka kemudian bergegas keluar dari cafe.

Pantai Pandawa, hari menjelang sore, 5 sekawan itu baru saja sampai di salah satu pantai ternama di Bali. Mereka memilih duduk di hamparan pasir yang luas berteman deburan ombak tipis-tipis.

"Huaaaaa ... Hikss ... Hiksss ...." Pecah sudah tangis Nindya, ia tak mampu lagi membendung semua beban hatinya. Perasaannya kacau balau.

"Nin—"

"Berikan dia waktu untuk mengeluarkan segala penat di kepalanya." Bayu memotong ucapan Dion seraya menggelengkan kepalanya pelan.

Dua gadis lainnya memeluk Nindya lembut, Wina dan Bella. Walau mereka tidak tahu masalah yang dihadapi Nindya. Keduanya mencoba menenangkan kegelisahan gadis itu.

"Berceritalah, agar bebanmu berkurang," ucap Wina setelah Nindya terlihat lebih tenang.

"Aku bingung. Masak iya, aku harus jadi adik tirinya Raya? Masak iya, papaku mau nikah sama mamanya Raya? Ga adil banget." Nindya mengeluarkan sebait unek-uneknya.

"Entar, entar ... Kamu ga salah ngomong kan, Nin?" ralat Bella, Nindya hanya menggelengkan kepalanya.

"Jadi, beneran kamu mau  saudaraan sama si Raya itu?" Kali ini Wina yang mencoba meyakinkan apa yang didengernya tadi, lagi-lagi Nindya hanya mengangguk.

"Terus?" Dion menatap Nindya.

Nindya menceritakan kejadian semalam pada teman-temannya. Menceritakan tentang pertemuan dia dan papanya juga Raya dan mamanya. Tak lupa ia sampaikan tentang keinginan papanya agar dirinya menjauhi Andy.

Rasa kecewa, Nindya ungkapkan dengan berteriak ke arah laut, tangannya dibentangkan. Gadis itu masih menangis, meratapi nasibnya yang dianggap begitu buruk dan menyakitkan.

****

"Jelaskan!" Andy menatap Raya, ia berharap gadis yang berstatus sebagai kekasihnya itu memberikan jawaban atas apa yang di ucapkan oleh Nindya sebelumnya.

Keduanya telah berada di rumah Andy, ya, Raya sudah terbiasa datang dan berlama-lama disana.

"Mama mau menikah dengan papanya si cunguk itu!"

"Raya, dia punya nama, jangan di biasakan menghina orang seperti itu!" pekik Andy.

"Bela aja dia terus, bela terus!" Raya memalingkan wajahnya, kedua tangannya dilipat di depan dada.

"Bukannya aku membela dia, sayang. Hanya saja aku tidak suka kamu bersikap kayak gini, ngerendahin orang."

"Apa? Terus dia bagaimana? Dia juga suka banget ngerendahin aku. Sadar ga sih?" ucap Raya kesal.

"Ray, kamu siapa?" Andy menatap Raya penuh cinta, matanya tak berkedip, membuat Raya salah tingkah.

"Maksudmu, apa?"

"Raya, sayang ... kamu itu pacarku, calon istriku. Aku ingin, pacarku elegan, jangan jadi gadis barbar, apalagi suka menghina orang, aku tidak suka. Bisa?" ucap Andy, ia tersenyum tipis diakhir kalimatnya. Diraihnya tangan Raya kemudian digenggamnya erat.

"Ohh ... so sweet, sayangku. Janji ya, jangan tergoda sama si cu— eh, Ninyda," ucap Raya yang hampir saja keceplosan salah menyebut nama Nindya.

"Tenang aja, aku bukan type cowok yang mudah tergoda. Apalagi sama cewek ingusan kayak Nindya, anak baru gede, percaya sama aku, ya?" jawab Andy.

Nindya pulang ketika hari sudah mulai gelap, gadis itu di antar oleh Dion.

"Malam, Om. Maaf kalau saya terlambat mengantar Nindya." Dion meraih tangan Rendi lalu mencium punggung tangan pria yang berstatus sebagai papa Nindya.

"Lain kali jangan diulangi, ya? Tidak baik anak gadis diantar pulang malam oleh laki-laki."

"Iya, Om. Sekali lagi saya minta maaf."

Dion berpamitan, ia meninggalkan rumah Nindya. Nindya sendiri bergegas masuk dan membersihkan dirinya lalu menyusul sang lala ke meja makan.

Beberapa hidangan kesukaan Nindya tersedia disana, tentu saja itu masakan Bi Ijah. Bagi Nindya masakan Bi Ijah 11 12 dengan masakan mama Almira. Hampir sama.

"Pa, mulai besok Nindya akan nyanyi di cafe lanela." Nindya mengawali pembicaraannya setelah mereka semua selesai makan malam.

"Untuk apa sih, sayang? Kok kayak papa  ga bisa ngasih kamu uang saja. Apa kurang uang jajan dadi papa?"

"Bukan begitu, Pa. Aku hanya ingin menghilangkan penatku. Please, boleh ya, Pa?" bujuk Nindya.

Rendy terdiam sejenak, ia mencoba mencerna keinginan putrinya." Baiklah, asal jangan aneh-aneh."

"Hore ... Makasih, Pa." Nindya berhambur ke pelukan sang papa. Diciumnya berkali-kali pipi pria yang sudah merawat dan mendidiknya hingga tumbuh menjadi gadis remaja.

Ingin sekali Rendy kembali membahas tentang keinginannya menikah lagi. Namun semua ia urungkan, baru saja Nindya bersorak girang. Rasanya ia tak tega jika harus mengubah suasana hati putrinya dalam sekejap.

Rendy memilih masuk ke dalam kamarnya. Sedangkan Nindya kembali ke dapur. Mengambil beberapa camilan untuk ia nikmati seraya menonton drama korea di kamarnya.

"Jadi gimana? Apa Raya sudah setuju?" Samar-samar Nindya mendengar ucapan papanya dari balik pintu kamar yang masih terbuka sedikit.

Nindya melihat jelas, papanya tengah melakukan panggilan telepon. Ia yakin itu panggilan dengan mama Raya. Nindya menghela napasnya pelan. Siap tidak siap ia harus menerima jika memang sudah waktunya sang papa akan menikah lagi.

"Nindya, putriku."

"Mama? Mama? Benar mama? Ma, aku rindu. Ma, papa mau menikah lagi. Aku harus bagaimana, Ma?"

"Sayang, biarkan papamu bahagia. Restuilah pernikahannya. Mama sudah tidak bisa menemani kalian. Mama yakin ibu sambung kamu akan menyayangi kamu,"

Nindya terbangun dari tidurnya. Air matanya seketika itu jatuh membasahi kedu pipinya. Ini pertama kalinya sang mama masuk ke dalam mimpi.

'Apakah itu adalah petunjuk?' Gumam Nindya dalam hati.

Bersambung....

Jadi Suamiku Ya, Om? (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang