Anthariksa tidak percaya dengan apa yang ia lihat ketika menerobos masuk kedalam apartemen Ginan.
Ada seorang gadis!
Tidak. Bukan karena Antha kaget melihat ada makhluk berjenis perempuan di tempat Ginan. Antha tidak naif, kok. Meski Ginan tidak sebrengsek dirinya, tapi, Ginan juga tidak se-alim Sangga. Membawa perempuan pulang dan melakukan hal yang tidak-tidak sangatlah wajar bagi lelaki dewasa macam Ginan. Anthariksa hanya terkejut karena ... gadis itu.
GADIS YANG SELAMA INI ANTHA CARI-CARI ADA DISINI!
Ia masih mematung memandangi sesosok perempuan yang tertidur di sofa ruang tengah, sampai Ginan datang dan menyeretnya ke balkon.
"Gue bilang kita bicara di bawah. Kenapa Lo masuk rumah gue?" Ginan tampak dongkol. "Tahu passcode-nya darimana, lo?" Sembari menutup kaca balkon, ia kembali menatap aneh pada Antha yang masih memakukan matanya kearah sofa.
Ginan rupanya baru sadar, bahwa Anthariksa memandang lekat sang gadis sejak tadi. "Mata lo lihat kemana, Anthariksa?" Ia sudah berniat menghantam kepala Antha jika saja tidak takut membuat berisik dan membangunkan gadis itu. "Mau gue colok biar buta?!""Itu ..." Antha terdengar kaku. Sangat kaku. Nyaris gagu malah. Ia hendak kembali untuk sekedar memastikan, apa yang ia lihat bukanlah bagian dari halusinasi, -berhubung selama beberapa waktu ini ia memang sedang kepikiran gadis itu terus- siapa tahu kan, matanya sedang dalam keadaan tidak sehat? Jadi, dia bisa saja salah lihat. Betul. Itu pemikiran yang masuk akal.
Namun, niat Anthariksa terhenti ketika lengan Ginan menghalangi laju jalannya. Sang sepupu itu, kini memberikan tatapan penuh peringatan kepada Anthariksa. "Cewek itu ..."
"Pacar gue."
DUARR!
Dunia Anthariksa seolah gonjang-ganjing, saudara-saudara!
"Nggak mungkin," ia melihat gadis itu lagi. Dari jauh pun, Antha yakin, dia adalah gadis yang selama ini ia cari.
"Gue hitung sampai tiga. Kalau lo masih jelalatan sama cewek gue, gue akan lempar lo dari lantai 30 ini." Ancam Ginan sembari mengantongi tangannya ke saku celana.
"Tunggu, tunggu dulu. Siapa namanya?"
"Apa?!"
"Cewek itu, siapa namanya?"
Ginan melirik gadis itu sekilas sebelum menjawab pertanyaan Anthariksa. "Medhya."
"Ya Tuhan. Nama yang cantik."
Ginan menaikkan sebelah alisnya tinggi. Kembali menghadap Anthariksa untuk sekedar memberikan raut tidak sukanya. "Gue serius soal melempar lo dari sini."
"Dengar, gue sudah berhari-hari nyari cewek itu." Anthariksa tidak peduli dengan ancaman Ginan tadi. Ia ingin menjabarkan alasannya dengan baik agar Ginan tahu isi hatinya.
Lagipula, Antha yakin Ginan tidak akan serius melemparnya dari lantai 30. Kalau dipukul sih, masih mungkin, mengingat sifat sepupunya yang melebihi iblis itu.
"Kami- maksudnya gue lihat dia pertama kali di parkiran kampus. Dan sejak saat itu, gue jatuh cinta sama dia."
Ginan menatap Antha datar.
"Gue serius, Ginan. Gue belum pernah setertarik ini dengan perempuan manapun." Mata Antha melebar lebih dari biasanya. Ia menyusul Ginan yang kini duduk di kursi, menghadap gedung-gedung tinggi disebelah apartemen. "Lo nggak serius waktu bilang dia pacar lo, kan?"
Ginan menoleh, membalas Anthariksa dengan lirikan tidak peduli. "Untuk alasan apa gue harus bercanda sama lo?"
"Nggak mungkin," Anthariksa menggeleng kuat. Tidak percaya dengan tipuan Ginan ini. "Sejak kapan lo suka main sama anak-anak?" Antha tertawa pelan. "Gue tahu dia cantik-banget- tapi, bukan begini selera lo, Ginan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Do you remember your first cup of coffee?
Romance[SELESAI] "Lo ngomong langsung ke dia?" Medhya mengangguk mantap. "Bilang kalau lo suka sama dia?" Ia mengangguk lagi. "Yang lo maksud itu, Ginan Satyatama yang ada dipikiran gue, kan?" Medhya menyerngit. "Memang, ada berapa Ginan Satyatama di kanto...