"Ngelihatin apa sih?" Gerda mengikuti arah pandang Medhya dengan penasaran. "Siapa tuh?"
Ada seorang lelaki berpenampilan cukup nyentrik tengah memperhatikan mereka bertiga. Sejak saat mereka keluar rumah, jalan-jalan mengitari Mall selama berjam-jam, hingga sekarang, mereka berada di restoran cepat saji, lelaki itu masih kelihatan.
Berhubung Medhya, Gerda dan Anya duduk di dekat kaca yang menghadap jalan raya, mereka pun bisa melihat dengan jelas setiap pergerakan lelaki itu diluar sana.
"Gue rasa, dia stalker." Anya berujar dengan wajah curiga. Diliriknya Medhya yang masih menatap lelaki diseberang jalan tersebut cukup lama. Anya menyenggol lengan Medhya pelan. "Lo kenal dia?"
Medhya menggeleng. "Aku cuma merasa ... orang itu sudah mengikuti aku sejak kemarin." Kalimat Medhya terhenti sejenak. Ia mengalihkan pandangannya ketika si lelaki kini menatapnya lurus. Baik Medhya, Anya dan Gerda langsung buang muka. Pura-pura mengaduk minumannya sembari berdekhem-dekhem gugup.
"Anjir, dia ngelihatin kita." Gerda cemas bukan main. "Yay, lo gila. Ini serem banget!"
Diam-diam, dibawah meja, Gerda menggenggam ujung baju Medhya erat. Anya pun ikut-ikutan menggenggam sebelah lagi sisi baju Medhya."Aku salah apa, ya?"
"Apa lo terlibat pinjaman online?" tebak Gerda dengan wajah ketakutan. "Atau lo pernah nolak cowok dengan cara tidak sopan? Ayo diingat-ingat lagi, Yay. Anjir ... anjir.. dia nyamperin kita!"
Ketiga gadis itu makin cemas ketika lelaki tersebut menyebrangi jalan raya dengan tatapan yang mencurigakan.
Medhya melirik sekitar dengan wajah penuh ketegangan. "Tapi disini ada banyak orang. Dia nggak mungkin berani melakukan sesuatu, kan?"
"Kalau dia nekat, gimana?" Anya membalas lagi. "Gue rasa dia. .. astaga, dia beneran kesini. Ayo kabur!"
"Nya! No, no. " Medhya mencekal lengan Anya lantas menggeleng pelan. "Lebih baik kita tetap berada di kerumunan seperti ini. Lagipula ... kita belum tahu apa dia benar-benar akan kesini ... SHIT! dia beneran kesini." Medhya meralat kalimatnya begitu melihat si lelaki mendekati meja mereka.
Ketiga gadis tersebut berdempetan dengan wajah ingin menangis. Medhya yang duduk ditengah-tengah, merasa bersalah karena mengira dirinya adalah alasan lelaki tersebut datang.
"Medhya Zalina Mukhtar?"
Benar. Lelaki itu memang mencarinya.
Medhya mendongak. Ia mengamati bekas luka di alis kanannya ... lalu perasaan mengganjal muncul di hati Medhya."Medhya Zalina Mukhtar." Ia mengulangi lagi kalimatnya. Suara lelaki itu bahkan lebih seram dibandingkan wajahnya.
"Sa-saya, Om." Medhya mengangkat tangan ragu-ragu. "Saya Medhya."
Lelaki itu menatapnya dari ujung kaki hingga ujung kepala. Saat langkahnya ingin lebih dekat, tiba-tiba saja Anya berteriak cukup kencang.
"Kokoh!"
Medhya dan Gerda lantas ikut menoleh ke arah telunjuk Anya teracung.
"Koh! Kokoh!" Anya melambaikan tangannya dengan panik. Selanjutnya, lelaki yang dipanggil 'Kokoh' oleh Anya tersebut mendekat, ada seorang perempuan semampai disebelahnya.
"Tharania, sedang apa kamu disini?"
Anya beranjak menghampiri. Ia mengamit lengan kakaknya dengan erat."Ko ..." bisik Anya ragu-ragu.
Perempuan disamping Edgar mundur beberapa langkah, memutuskan untuk tidak ikut campur.
"Ada apa?" Melihat gesture aneh sang adik, Edgar pun membalik badannya, ia menatap lelaki sangar tadi dengan wajah tegas. "Mau apa anda sama adik saya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Do you remember your first cup of coffee?
Romance[SELESAI] "Lo ngomong langsung ke dia?" Medhya mengangguk mantap. "Bilang kalau lo suka sama dia?" Ia mengangguk lagi. "Yang lo maksud itu, Ginan Satyatama yang ada dipikiran gue, kan?" Medhya menyerngit. "Memang, ada berapa Ginan Satyatama di kanto...