Sebuah cincin

22.6K 2.7K 44
                                    




"Saya dan Antha sudah cek profil distributornya. Dan sejauh ini tidak ada yang salah." Ginan menyodorkan kertas ditangannya pada sang ayah, Hanggatama Prambudi.

Lelaki yang duduk di kursi kebesarannya itu mengambil kertas Ginan lalu fokus membacanya. Mengangguk sesekali sambil tersenyum pada sang putra yang berwajah datar selagi memaparkan laporan.

"Ini apa?" Hanggatama menunjuk satu paragraf yang di tandai dengan warna merah.

"Saya pikir tidak ada masalah dengan distributornya. Tapi staf Papa yang bermasalah." Ginan menarik kursinya lebih dekat. Menunjukkan satu kertas lagi yang sedari tadi ia simpan. "Tiga bulan lalu ada pemesanan furniture rumah sakit, alat bedah, X-ray, spare part dan segala macamnya yang biaya di laporannya sebesar lima puluh milyar," kata Ginan dengan wajah serius. "Tapi setelah saya cek di Pramedical Center langsung, alat-alat yang datang harganya tidak sesuai dengan yang ada di laporan. Menurut perkiraan saya, lima sampai enam milyar tidak ada bentuknya."

Hanggatama menegakkan punggung, menghela napas. "Kamu turun langsung?"

Ginan mengangguk. "Saya cek ulang tiga kali untuk memastikan tidak ada kesalahan. Dan angka yang saya hitung selalu lebih lima sampai enam milyar."

"Biaya operasional? Mungkin kamu lupa menyertakan biaya operasional."

Menggeleng, Ginan menatap ayahnya lagi.
"Yang saya hitung sudah termasuk biaya operasional. Biaya pemesanan, pengiriman, ongkos jalan, pengecekan ulang, semuanya. Karena itu saya bilang lima sampai enam milyar, dua milyar itu untuk jaga-jaga  kalaupun ada biaya operasional lain yang tidak saya tulis. Tapi, memangnya biaya operasional macam apa yang sebesar itu? Kalaupun ada, tetap saja ada dana beberapa milyar yang hilang."

"Kamu sudah tanyakan dengan Sangga?"

Ginan menggeleng. "Saya curiga," ujarnya pelan. ".. dengan Paman. Karena itu, saya berusaha untuk tidak melibatkan Sangga kali ini."

Hanggatama menghela napas berat. "Nanti Papa selidiki lagi. Terimakasih." Di satukan kertas-kertas tadi dalam satu map lalu tersenyum menatap Ginan. "Ginan, sejujurnya, ada yang ingin Papa tanyakan tentang orang-orangmu. Maksud Papa, orang yang kamu pekerjakan dalam kasus pencarian Hardi Fadil dan komplotannya saat Papa diselidiki KPK waktu itu." Hangga menatap sang putra sejenak sebelum melanjutkan. "Apa Papa bisa mempekerjakan mereka untuk hal lain?"

"Hal lain seperti apa?"

"Ada lah. Kamu tahu, lingkup kita tidak sebersih itu," jawabnya pendek. "Papa juga merasa butuh orang kepercayaan setelah semua hal yang terjadi. Papa dengar, sebagian dari mereka adalah kenalan kamu yang jago berkelahi."

"Mungkin maksud Papa, membela diri, bukan berkelahi."

Hangga tergelak pelan, mengangguk kecil.
"Apapun itu sebutannya. Bisa kamu pinjamkan mereka untuk Papa?"

"Mereka semua adalah tim, Pa. Biasanya, mereka tidak mau bekerja secara terpisah. Biar nanti saya tanyakan dulu, apakah mereka bersedia untuk melakukannya atau tidak."

"Bukannya kamu atasannya? Kenapa butuh persetujuan dari anak buahmu?"

"Justru karena saya atasannya, saya butuh persetujuan mereka," pangkas Ginan lembut. "Mereka saya bawa pulang dari New York untuk membantu saya disini. Dan sampai sekarang, tidak sekalipun mereka meninggalkan saya. Jadi, rasanya agak berlebihan kalau saya meminta hal lain tanpa berdiskusi dengan mereka terlebih dulu."

Selain itu, saat ini Gatama juga sedang dalam misi yang diberikan Ginan. Mereka cukup sibuk untuk mengerjakan hal lain. Tambah Ginan dalam hati.

Hanggatama mengangguk. "Baiklah kalau begitu. Papa tunggu kabar selanjutnya."

Do you remember your first cup of coffee?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang