Selama hidupnya, Ginan selalu menjadi orang yang penuh dengan rencana dan terorganisir dalam hal apapun itu, sampai ketika Medhya muncul.
Menjalin hubungan dengan Medhya seperti halnya memasuki wahana dunia lain bagi Ginan. Serba baru, aneh, menegangkan, sekaligus ... membuat jantungnya berdebar-debar tak karuan.
Pasang surut, baik buruk, naik turun hubungan mereka lewati. Dan dalam jangka waktu tersebut, entah sudah berapa kali Ginan mempertanyakan dirinya sendiri.
Apa yang membuat seorang Medhya mampu menahannya selama ini?
Gadis itu kekanakan. Sering marah. Banyak mau. Cengeng. Dan pastinya, itu semua bukan bagian dari tipe ideal yang Ginan pernah inginkan dari seorang gadis.
Tiba-tiba, Ginan lupa seperti apa kriteria wanita idaman yang dia susun sebelum mengenal Medhya. Gadis itu menjungkirbalikkan semua ekspektasinya akan sebuah hubungan yang dewasa dan selalu bertujuan untuk bisnis.
Medhya hanyalah Medhya. Tak pernah menjadi siapapun. Gadis itu cukup berdiri di depannya lalu tersenyum konyol. Dan begitulah Ginan selalu berakhir jatuh padanya.
Hingga, tiba waktunya bagi Ginan memutuskan mau dibawa kemana hubungan mereka.
Dia tahu semua hal tentang Medhya. Keluarganya, teman-temannya, dan apa rencana masa depan gadis itu. Sementara Medhya justru sebaliknya.
Ginan nyaris tak pernah menceritakan apapun pada gadis itu. Dan Medhya sendiri, tampaknya cukup sadar untuk tak memaksanya menceritakan apa-apa.
Saat mulai berpacaran, Ginan tak pernah menyangka bahwa perjalanan mereka akan sepanjang ini. Ginan pikir, Medhya akan sama seperti gadis-gadis yang sebelumnya ia kencani. Mereka yang akan pergi begitu menyadari bahwa dirinya bukan prioritas utama dalam hidup Ginan. Ginan pikir, mengakhiri hubungan tak akan sesulit ini.
"Kamu lebih paham situasi disana dibanding siapapun."
Kalimat Ayahnya membuat Ginan merenung. Padahal, dia sendiri yang membuat Prambudi Indonesia berhasil kembali ke lingkaran bisnis terkemuka di Indonesia, dia juga yang menyusun semua strategi hingga pasar Amerika merespon pengajuan kerjasama besar ini. Nama perusahaan perlahan membaik. Peluang-peluang besar juga semakin terbuka. Tapi, kenapa ia tak bahagia ketika sang Ayah membebankan tugas ini padanya?
"Bukankah banyak orang yang bisa ditugaskan selain saya?" Ginan mencoba mengelak. Entah kenapa, ia tidak begitu tertarik pergi.
"Papa pikir, lebih baik kamu sendiri yang mengerjakannya. Selain itu, selama ada disana kamu akan lebih mudah membagi waktu antara perusahaan kita dan bisnismu yang dulu." Ujar Hanggatama lagi. "Ini kesempatan yang bagus untuk kamu kembali mengembangkan mimpimu. Bukannya kamu juga sudah menantikan ini? Sudah lama kamu ingin kembali ke New York. Jadi, sekalian saja kamu urus proyek besar kita."
Ginan mendesah panjang. Betul dia menginginkannya. Tapi, bagaimana dengan Medhya?
Tidak, tunggu. Harusnya bukan bagaimana dengan Medhya, tapi, bagaimana dirinya bisa berjauhan dengan Medhya?"Cuma dua tahun. Setelah kita settle, kamu bisa kembali fokus dengan bisnismu lagi, Papa tidak akan melarang. Tapi untuk saat ini, pastikan kerjasama kita dengan Halflive berjalan lancar."
Sembari memainkan pena di tangan, pikiran Ginan berkecamuk. Disatu sisi, ada harapan-harapan sang Ayah, usaha kerasnya untuk membangkitkan kembali perusahaan, mimpinya yang sempat tertunda, dan nasib ribuan karyawan yang bergantung pada keputusan yang akan ia ambil.
Disisi lain ... bagaimana caranya meninggalkan Medhya sedangkan saat ini, sehari pun tak bisa ia lewati tanpa mendengar suara berisik gadis itu?
KAMU SEDANG MEMBACA
Do you remember your first cup of coffee?
Romance[SELESAI] "Lo ngomong langsung ke dia?" Medhya mengangguk mantap. "Bilang kalau lo suka sama dia?" Ia mengangguk lagi. "Yang lo maksud itu, Ginan Satyatama yang ada dipikiran gue, kan?" Medhya menyerngit. "Memang, ada berapa Ginan Satyatama di kanto...