Gengster jadi-jadian dan prajurit barunya

18.9K 2.4K 82
                                    

Rupanya, prediksi cuaca lokal semalam kurang akurat. Sebab, setelah pulang dari pasar seni bersama Brisia, Antha dan Ginan, cuaca kembali mendung.

Langit menggelap, awan-awan hitam menggantung nyaris memenuhi pandangan. Kilat kilat petir sesekali terlihat menyambar.

"Yaah, padahal aku mau ke pantai." Medhya menempelkan keningnya di jendela, terlihat sedih karena rencananya akan gagal.

"Masih ada waktu lain kali. Hari ini kita tunda dulu acara ke pantai, cuacanya sedang nggak bagus." Ginan menepuk-nepuk kepala Medhya lembut, membuat gadis itu menoleh padanya. "Tadi kita beli banyak makanan, sana habiskan."

Dengan langkah gontai, Medhya berjalan masuk. Meninggalkan keinginannya untuk main air dan pasir, sebab cuaca tampak tidak merestui rencana bersenang-senangnya.

"Girl! Jangan sedih! Mari kita main!" Brisia datang seperti pahlawan kesiangan. Berkacak pinggang layaknya ibu kos yang nagih duit bulanan dengan senyum lebar.

"Main apa, Mbak?"

"Tunggu bentar. Anthariksa mana tadi, WOI ANTHA!"

"Iya, astaga! Sabar kenapa sih!" Antha tergopoh-gopoh membawa tepung dalam mangkuk. "Gue kesini pengen liburan, malah dijadiin babu begini sama Nyi Blorong!"

Brisia tampak tidak peduli dengan gerutuan Antha. Ia masih sempat bertepuk tangan saat mempersilahkan Medhya duduk di bawah sofa. "Kita main ABC lima dasar! Nanti yang kalah, dicoret pakai tepung, sama di cubit, di jitak, di tendang-"

"Lebih mirip penyiksaan ya, jatuhnya." Sambar Antha dengan segera.

"Nyubitnya nggak sampai kulit bolong, ngejitaknya nggak boleh bikin kepala benjol, nendangnya khusus kalau Antha aja yang kalah." Lanjut Brisia membuat peraturan dengan semena-mena.

"Kok begitu?!"

"Suka-suka gue lah, gue ratunya disini!"

Medhya ketawa. "Aku setuju!"

"Wah, mulai nggak beres nih berdua." Antha tetap saja menurut ketika disuruh duduk.

Permainan dimulai.

"ABC lima daaaasar!" Ujar mereka serentak.

Ginan duduk di sofa, tepat diatas Medhya, sedangkan Sangga yang baru turun dari kamar pun menyusul duduk disebelahnya.

"Gue berasa lagi ngemong empat anak. Satunya ngambek nggak mau keluar dari kamar, yang tiga pecicilan macam ular kena garam."

Ginan menarik senyum simpul kemudian mengangguk pelan. Setuju dengan ucapan Sangga barusan. "Devin kenapa?" Tanyanya kemudian.

"Biasalah. Lo kayak nggak tahu aja tuh anak kayak apa manjanya kalau sama lo. Cemburu-cemburu tipis gitu. Wajar."

"Mmm," Ginan bergumam pelan.
"Nanti biar gue bicara sama dia."

"Nggak usah. Makin di seriusin, yang ada dia bakal makin manja. Biarkan saja. Dia sudah dewasa, harusnya bisa lebih cepat beradaptasi dengan keadaan, bukannya seperti itu. Kelakuannya justru nggak lebih baik daripada Medhya yang masih anak-anak."

Ginan terdiam sejenak.

"Jangan terlalu dipikirkan. Dulu waktu pertama kenal Brisia, dia juga bersikap begitu. Gue yakin kalau suatu saat Antha tiba-tiba bawa perempuan yang kelihatan serius sampai dikenalkan ke kita, Devin pasti akan begini lagi. Memang intinya dia itu tipe posesif dengan apapun." Sangga berujar santai.

Sementara di bawah, permainan tampak makin ricuh karena sikap Brisia yang semena-mena terhadap Antha.

"Abcdefghijklm. M!"

Do you remember your first cup of coffee?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang