Love • 1

2K 192 0
                                    

🌵

“Selamat malam, Tuan muda Kang.” Seulgi hanya mengangguk kecil menjawab sapaan Bibi Choi, pembantunya. “Apa kau baik-baik saja, Tuan muda, kau terlihat pucat?” khawatirnya sambil menutup pintu rumah.

“Aku baik-baik saja.” jawab Seulgi singkat dengan suara seraknya. Seulgi tidak baik-baik saja. Kepalanya pusing. Tenggorokannya kering. Badannya panas. Dan hatinya terasa kosong.

“Apa Tuan muda sudah makan malam? Jika belum aku akan—”

“Aku ingin istirahat. Jangan ganggu aku, Bibi Choi.” potong Seulgi. Ia melangkah keatas anak tangga menuju kamarnya dilantai dua. Meninggalkan Bibi Choi yang terus menatapnya dengan khawatir dan kasihan. Suasana rumah sangat berbeda dua minggu belakangan ini.

Seulgi membuka pintu kamar. Sepi. Tidak ada suara ceria yang biasa menyambutnya. Ia menghela nafas lalu melangkah masuk, menutup pintu dibelakangnya. Seulgi duduk ditepi ranjang sambil melonggarkan dasinya, lalu membuka dua kancing kemeja putihnya. Ia menatap dinding kamar dengan sendu, memikirkan sesuatu, memikirkan seseorang yang dirindukannya. Seulgi membuka laci meja nakas. Mengambil satu buku di sana dan membukanya. Sebuah foto menyambutnya. Seulgi mengusap wajah cantik yang seakan tersenyum kepadanya itu.

“Apa yang harus aku lakukan, Jisoo?” tanya Seulgi sendiri. Bingung.

- flashback

“Kenapa kau tidak bisa mencintaiku seperti kau mencintainya? Kenapa?” Irene mengusap air mata di pipinya. Ia menangis sedih. Menatap nanar punggung tegap suami didepannya. Seulgi hanya diam ditempat tidak bersuara. Walau pertanyaan yang tiba-tiba itu sudah mengejutkannya. Membuatnya berpikir sekali lagi. Kenapa?

“A-aku bisa menjadi dirinya, kalau kau mau...” Irene tersenyum pahit. Putus asa namun juga penuh harap. Betapa menyedihkan kisah asmaranya ini. Seulgi tertegun mendengar Irene. Dadanya sesak. Kata itu sangat dalam tapi ia tidak tau harus bagaimana.

Irene melihat pantulan dirinya di cermin rias. Ia tidak tau kalau Seulgi akan sebegitu marah karena piyama kimono biru yang kini melekat ditubuhnya. Irene tidak sengaja menemukan piyama perempuan yang lama tidak tersentuh itu di dalam lemari. Ia tau piyama itu bukan miliknya tapi tetap ingin mencobanya. Hanya ingin mencobanya, tidak lebih dari itu. Dan kemudian Seulgi yang baru pulang dari kantor melihatnya. Mungkin kali ini bukan hari keberuntungan Irene. Seulgi terlihat tidak suka. Ia sangat marah dan menyuruh paksa Irene untuk melepaskannya. Seulgi bahkan dengan tega mencengkram lengan Irene tanpa memperdulikan ringisan sakitnya. Irene yang terlalu kaget tidak tau harus bagaimana dan hanya menangis tanpa bisa menjelaskan apa-apa. Air mata itu yang kemudian sedikit menyadarkan Seulgi kalau yang dilakukannya sudah berlebihan dan ia menjauh dari Irene.

“A-aku akan belajar seperti apa dia berjalan, bagaimana dia bicara, bagaimana dia berpakaian, semuanya, aku akan lakukan itu untuk mu.”

“Hentikan...” Seulgi menelan ludah. Kata itu membuatnya sedih.

“Jisoo sudah mati!” kesal Irene. Dan itu berhasil membuat Seulgi berbalik badan. Tatapan Seulgi tajam, tidak peduli dengan tatapan sedih dan terluka Irene. Rahang tegas Seulgi menggertak geram, Irene bisa melihat itu. Ia kaget, ini pertama kalinya Seulgi terlihat menakutkan untuknya.

“Jangan pernah kau menyebut namanya. Kau tidak berhak.” desis Seulgi mengingatkan sekali lagi. Pernyataan Irene itu seakan membuka luka lama yang perlahan sembuh di hidup Seulgi. Seulgi tidak suka, walau itu memang kenyataan yang harus diterimanya.

“Kenapa? Itu benar. Kim Jisoo. Dia sudah mati...” lanjut Irene. Ia juga marah dan terlalu kecewa. Irene mencintai Seulgi dari awal pertemuan mereka sampai saat ini. Ia berhak untuk memiliki Seulgi, suaminya. “Dia mati dan dia meninggalkanmu—”

“Sudah cukup!” teriak Seulgi. Amarahnya yang sudah di ubun-ubun akhirnya keluar. Irene terperanjat mendengar teriakan itu.

Seulgi tidak marah saat harus menikah dengan Irene karena keluarga mereka. Seulgi tidak pernah marah saat Irene mengganggu atau menggodanya saat bekerja, tapi kali ini berbeda. Hanya dengan menyebut namanya, Seulgi bersikap diluar dugaan seperti ini. Irene tidak menyangka. Atau Irene yang kali ini sudah berlebihan?

“Kau tidak tau apapun! Kau tidak tau tentang dia ataupun tentang aku! Jadi kau tidak berhak untuk berkata apapun!” nafas Seulgi memburu. Wajahnya merah padam. Irene menggenggam tangannya yang gemetar. Ia panik. Ia sudah membuat Seulgi semakin marah padanya. Irene tidak mau itu.

“M-maafkan ak—”

“Tidak!” langkah Irene yang ingin menghampirinya terhenti. Seulgi menggeleng. “Kenapa kau lakukan ini? Apa yang sudah kau lakukan padaku?!” Seulgi tidak mengerti dengan dirinya sendiri. Ia marah karena Irene tidak berhak mengungkit masa lalunya. Ia juga marah karena melihat air mata Irene yang menetes karenanya. Merasa bersalah.

“Aku mencintaimu, Seul.” ucap Irene. Seulgi membeku. Jantungnya seakan berhenti. Tatapannya kini melembut, nanar. Beraninya Irene? Tidak ada yang boleh memanggilnya dengan sebutan itu selain dia. Tapi ia rindu ada yang memanggilnya seperti itu. “Aku sangat mencintai—”

“Keluar.” desis Seulgi. Dahi Irene mengernyit dalam.

“Seul—”

“Keluar sekarang! Atau kau akan menyesal Irene Bae!” Seulgi kembali teriak membuat mata Irene terpejam. Tubuhnya gemetar. Hatinya terluka.

Air mata Seulgi menetes saat melihat Irene yang tersedu keluar berlari dari kamar. Apa yang sudah terjadi pada mereka berdua?

... bersambung

Love tip & other stories at
karyakarsa.com/authorka
Thanks 🤓

๑ LOVE BACK ๑ end ๑Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang