Love • 3

1K 168 1
                                    

.

Irene mengidap penyakit panik yang kini kembali kambuh. Ia mengunci pintu mobil dari dalam dengan cepat. Takut jika ada yang akan datang berbuat jahat. Berada didalam mobil adalah tempat yang aman untuknya. Sekarang pikirannya semakin kacau. Ia terus melihat keluar kaca mobil dengan penuh waspada. Irene mencoba untuk tenang, mengatur nafasnya berkali-kali. Tapi ia tidak berhenti menangis.

Fokus Seulgi terbagi pada layar ponselnya di dashboard mobil dan jalan raya. Ia bergantian memperhatikan itu dengan seksama. Ia tidak menyangka saat mengetahui keberadaan Irene yang jauh dari tempat tinggal mereka. Seulgi ingin marah akan sikap Irene yang bisa membahayakan dirinya sendiri, tapi yang terjadi ini juga karena kesalahannya.

Seulgi pernah melihat Irene yang panik suatu waktu, dan itu bukan pemandangan yang menyenangkan untuk dilihat. Tidak ingin terlambat dan tidak ingin sesuatu yang buruk menimpa Irene, Seulgi menambah kecepatannya ketempat tujuan.

Seulgi menepi saat melihat mobil yang tidak asing ada didepannya, terparkir sembarangan dijalan buntu. Ia tidak salah lokasi. Terima kasih pada teknologi yang semakin canggih sekarang. Sinyal yang ada di mobil itu sangat membantu. Seulgi segera turun dari mobilnya dan mendekat.

“Irene?” panggil Seulgi sambil mengetuk kaca mobil. Ia tertegun saat melihat Irene yang duduk meringkuk di kursi belakang. Kepalanya tertunduk dalam sambil memeluk lututnya. “Buka pintunya, Irene.” Seulgi membuka pintu mobil tapi tidak bisa. Membuatnya geram. Sementara Irene tidak mendengarkannya dan terus saja menangis, menutup telinganya rapat-rapat. Irene tidak bisa lagi membedakan keadaan. Yang ada dipikirannya sekarang hanyalah hal-hal negatif yang akan terjadi kepadanya.

Dengan terpaksa, Seulgi memukul kaca mobil dengan sikutnya berkali-kali yang mana membuat Irene didalam menjerit semakin takut. Tapi Seulgi tidak punya pilihan, ia terus memukul sampai akhirnya kaca pecah dan ia berhasil membuka pintu.

“Irene?...” Seulgi mendekatinya dengan perlahan, tidak ingin membuat Irene semakin kaget.

“Tidak! Pergi!” Irene menepis tangan Seulgi yang mencoba menyentuh tangannya. “Aku mohon, pergi. Tinggalkan aku sendiri!” teriaknya histeris. Tidak berani untuk membuka matanya, melihat siapa yang datang.

“Ini aku...” Seulgi memeluknya erat meski Irene terus berontak. Memukulnya, menggigit bahunya, menendangnya. Seulgi membiarkan itu, mungkin rasa sakit yang diterima badannya tidak sama dengan sakit yang dirasakan hati Irene karenanya. “Ini aku, tidak apa-apa, kau aman. Tenanglah. Ini aku, Seulgi...” Seulgi mengusap punggung Irene pelan sambil berkali-kali mengucapkan kata-kata untuk mencoba menenangkannya. Tubuh Irene gemetar dan ia berkeringat dingin. Seulgi tidak tau sudah berapa lama Irene menangis. Suaranya kini tidak lagi terdengar namun air mata terus mengalir di pipinya. Irene tersedu dilehernya. Seulgi mengingat apa yang sudah dilakukannya tadi di rumah. Hatinya pun berdarah, semakin merasa bersalah. Mengutuk dirinya.

“Maafkan aku...” bisik Seulgi. Ia mengusap rambut dan mengecup pelipis Irene. Seulgi menyesal. Matanya nanar. Betapa ia sudah sangat menyakiti hati Irene. “Maafkan aku.” ia mengeratkan pelukannya.

Seulgi berjalan sendiri di lorong rumah sakit. Satu tangannya memegang kantong plastik berisi makanan sementara yang satunya memegang ponsel di telinganya. Ia sedang berbicara dengan sekretarisnya yang berada di kantor.

“Aku ingin kau membatalkan semua jadwalku untuk hari ini. Ada urusan mendadak yang harus kulakukan.” pinta Seulgi tanpa penolakan. “Terima kasih, Wendy.” Seulgi menutup telponnya.

Seulgi mempercepat jalannya menuju kamar rawat. Setelah Irene tenang dengan sendiri dan tertidur dalam pelukannya, Seulgi memutuskan untuk membawanya ke rumah sakit. Ia terlalu khawatir dengan keadaan Irene dan ingin memastikannya baik-baik saja. Apa yang terjadi semalam tidak pernah lepas dari pikiran Seulgi. Ia tidak bisa tidur. Pikirannya bercabang dan tidak tenang. Seulgi hanya memperhatikan wajah Irene yang terlelap sambil menggenggam tangannya sampai pagi menjelang.

Seulgi mengernyit bingung saat masuk kedalam kamar rawat. Tidak ada Irene yang saat ditinggalkannya keluar tadi masih tertidur. Sekarang hanya ada seorang suster perempuan yang sedang merapikan ranjang. Apa Irene ke kamar mandi?

“Maaf suster, tapi dimana istriku?” tanya Seulgi khawatir.

“Oh, Nyonya Kang? Dia baru saja keluar bersama seorang pria, Tuan.”

“Apa?”
- end flashback

... bersambung

Love tip & other stories at
karyakarsa.com/authorka
Thanks 🤓

๑ LOVE BACK ๑ end ๑Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang