Love • 2

1.1K 166 2
                                    

.

Irene bergegas masuk kedalam mobil tanpa pikir panjang. Tidak mengindahkan suara Bibi Choi yang memanggil-manggilnya, melarangnya untuk pergi. Irene meninggalkan rumah. Terus menangis sambil mengendarai mobilnya dengan laju. Jauh, jauh dan semakin jauh tanpa tau tujuan. Hatinya terluka dan lelah. Apa yang dilakukannya untuk Seulgi selama ini semuanya sia-sia. Seulgi memang bersikap baik dan perhatian padanya tapi itu tidak cukup untuk Irene. Irene ingin cinta. Cinta Seulgi. Hal apa lagi yang bisa membuat Seulgi membalas cintanya? Dan mendengar bagaimana Seulgi berteriak menyebut namanya tadi, semakin membuat dada Irene sesak. Ia tidak akan pernah bisa menjadi Nyonya muda Kang.

Seulgi tersadar dari lamunannya saat mendengar suara ketukan pintu dari luar. Ia menaruh foto ditangannya kedalam lipatan buku. Setengah jam berlalu, Seulgi terlihat sudah lebih tenang. Tapi tidak dengan Bibi Choi yang mengkhawatirkan kedua majikan mudanya ini.

"Tuan muda Kang, maaf aku mengganggumu tapi..." Bibi Choi gugup. "Tapi Nona Irene belum pulang, Tuan, cuaca diluar semakin dingin dan-"

"Dia sudah besar dan tau apa yang dilakukannya." potong Seulgi tidak peduli. Amarah itu masih ada.

"Tapi Tuan-" Bibi Choi tercekat melihat tatapan Seulgi padanya. Ia seketika menunduk, tidak ingin membantah.

"Tinggalkan aku sendiri, Bibi Choi." tegas Seulgi. Ia pusing karena masalah yang ada dikantornya dan sekarang ditambah dengan masalah di rumah. Irene.

Irene menghentikan kendaraannya ditepi jalan dengan kasar. Membuat tubuhnya terhuyung ke depan bersamaan dengan decitan kencang dari ban mobil dan aspal yang beradu. Sunyi. Ia perlahan melihat sekelilingnya. Tidak ada rumah selain pepohonan dan lampu jalan yang temaram. Butiran salju yang semakin turun membuat udara malam semakin dingin. Irene menelan ludah. Genggamannya di kemudi mobil menguat. Irene tidak tau dimana ia sekarang. Terlalu sibuk dengan perasaannya yang hancur karena Seulgi. Ingatannya tentang jalan pun sangat buruk. Ia tidak pernah pergi tanpa supir sebelumnya kecuali pergi ketempat yang sudah dihafalnya atau yang jaraknya dekat. Bahkan kedua orang tuanya masih melarangnya untuk mengemudi sendiri.
Nafas Irene memburu. Dadanya sesak sulit bernafas. Ia menangis lagi. Irene tidak tau apa yang harus dilakukan. Ia takut.

"M-maaf..."

Seulgi masuk ke dalam kamar mandi. Membasuh wajahnya dengan air dingin. Terasa lebih segar. Ia menatap wajahnya di cermin, sendu dan lama. Kata-kata Irene terus menggema di telinganya. Suara tangisannya yang membuat tidak tega. Wajahnya yang penuh dengan air mata. Kenapa Seulgi bisa sangat marah seperti tadi? Melihat Irene memakai piyama itu. Seulgi tidak bisa mengontrol emosinya. Apa salahnya? Atau karena siapa pemilik baju tidur itu dulu? Seulgi tidak tau apa yang merasukinya. Ia bahkan tidak mendengarkan penjelasan Irene. Apa ia terlalu kasar?

Seulgi menghela nafas untuk kesekian kalinya. Ia mengambil handuk dan mengeringkan wajahnya. Matanya tidak sengaja melihat botol kecil berwarna biru disudut wastafel. Obat penenang itu, ia tau siapa pemiliknya. Menyadari sesuatu, Seulgi keluar dari kamar dengan cepat.

Bibi Choi duduk diam diruang tamu sendiri. Ia menoleh cepat kebelakang dan berdiri saat mendengar suara langkah kaki. Bibi Choi melihat Tuan mudanya yang mengenakan mantel sambil berlari kecil menuruni anak tangga. Tatapan khawatir mereka bertemu.

"Nona tidak membawa ponselnya." suara Bibi Choi diujung tangis. Ia memperlihatkan benda elektronik canggih yang dipegangnya dari tadi kepada Seulgi. Membuat Seulgi merasa bersalah. Ia pria jahat.

... bersambung

Love tip & other stories at
karyakarsa.com/authorka
Thanks 🤓

๑ LOVE BACK ๑ end ๑Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang