Jam dinding menampilkan numeral jarum jam pukul delapan malam. Kegelapan kian mengental, disertai semilir angin yang menyambung hawa sejuk di setiap dekapan, di mana waktunya para makhluk hidup tertidur pulas. Kali ini kemujuran berpihak pada kota megalopolitan, hujan mengguyur wilayah Jakarta yang menjadi tempat tinggal Agista dan keluarganya.
Wanita berpiyama berpikir jernih, pasti anaknya sudah tertidur lelap mendengar tiada balasan dan erangan sekali pun di balik pintu yang terkunci rapat. Mengingat cuaca sedang menyucikan hari-harinya, Mama Yasmin tidak perlu menimbang-nimbang mengenai seberapa besar dan kecilnya rengat hati yang dirasakan sang anak.
Sementara, yang terjadi di dalam kamar ... seorang gadis dengan rambut yang terikat sedang menulis naskah yang alurnya masih bergelimpangan. Malam memang waktu yang efisien untuk mengarang, apalagi hujan pun ikut serta dalam kegiatannya kali ini.
Dengan segelas susu hangat yang dibuat tanpa sepengetahuan Mama, sekaligus semangkuk biskuit cokelat yang dibelinya ketika pulang sekolah, Agista terus-terusan mengembangkan senyumnya.
Kendati banyak hal yang bercokol di pikirannya, menulis tetap dilakukan dalam perasaan apa pun. Entah hatinya berkecamuk, bersedih, bersukaria, dan lain-lain yang biasanya membuat seorang penulis terpaksa menunda kegiatannya, Agista tidak seperti itu. Selagi ada kesempatan, selagi ada naluri menuangkan perasaannya dalam bentuk tulisan. Mengapa tidak?
Ya, tetapi bukan berarti benaknya sukses menghindari hal negatif yang menghantui. Sejujurnya, Agista masih terjebak dalam renungan mengenai peristiwa yang terjadi di sekolahnya. Memangnya Kemal berulah apa hingga Christine meraung seolah pernah disakiti olehnya? Sebenarnya, mereka memiliki hubungan apa? Juga, kenapa Kemal bersifat lancang kepada Vale?
Oh, tidak. Begitu banyak pertanyaan yang bersemayam, kedua tangannya bergerak menekan pelipis yang dilanjutkan putaran telunjuk di area kening. Pusing menyerang pusat pikirannya, dia telanjur cemas hingga mengalami vertigo pada tubuhnya. Astaga, perasaannya pun semakin memburuk.
“Aku—Aku harus ngomong sama ....”
Agista terdiam. Jika dia menghubungi Vale, pasti cowok yang rumahnya tidak jauh malah khawatir dan akan menepis topik yang ada. Tidak, Agista membutuhkan jawaban sebagai obat ketenangannya. Yang berarti, dia hanya bisa menghubungi Christine, selaku pihak yang terlibat dalam peristiwa.
“Aku harus ngomong sama Christine.”
Mendadak, bunyi notifikasi muncul yang bersamaan dengan isinya di layar ponsel. Agista lekas melirik dan menemukan kontak Vale yang terpajang dalam ruang layar kuncinya, ternyata cowok itu mengirimkan pesan.
From: Vale
Jangan dipikirin, mending lo nulis terus makan malam. Jangan lupa minum obatnya, sorry dari kemarin gue lupa ngingetin. Gue nggak bisa ke rumah lo karena hujan, orang tua gue juga pulang. Besok gue jemput pakai motor.
Bibirnya menyungging senang, dia menerima pesan dari temannya dan sempat membalas dengan mengetikkan beberapa kata di sana. Vale memang sepekan itu, Agista pun dibuat heran karena perkataan dan dugaannya selalu benar setiap saat. Baiklah, sekarang waktunya Agista menghubungi Christine.
Sebelumnya, dia sempat menghela napas dan merenggangkan kesepuluh jarinya sebelum menyentuh huruf-huruf yang tersaji di papan keyboard. Sampai pada waktunya, Agista pun menghubungi Christine dengan pertanyaan ‘bisakah aku mengobrol denganmu?’ yang kebetulan sang penerima dalam posisi aktif di tempat.
From: Christine
Gue bisa jelasin, tapi gue rasa waktunya belum tepat. Lo bisa ngomong sama Vale, tanyain aja. Ya, kalau lo mau.
![](https://img.wattpad.com/cover/295850209-288-k407018.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Degree of Love [Terbit]
Roman pour AdolescentsIni tentang Agista yang mengimpikan penulis sebagai masa depannya, juga Vale yang berusaha menguatkan dengan luka-luka yang menancap secara tersembunyi. Ini bukan tentang siapa yang lebih kuat, tetapi siapa yang bisa mempertahankan hubungan tersebut...