Sejuk menggemulai di malam hari, meminimalisasi jumlah pejalan kaki sesuai marginalisasi. Tampaknya hal ini termasuk faktitius dari langit, terbukti dari koneksi yang tidak baik dengan keberadaan lindap yang tidak ingin menepi. Cuaca buruk yang dialami bumi berlangsung selama tiga jam, tidak bisa dipungkiri bahwa kecepatan divergensinya mengalami sublimasi.
Ada yang memelas karena pekerjaannya terpaksa mengalami penundaan, ada yang menangis di bawah tangisnya langit yang redup, ada pula yang masih bepergian di dalam ataupun di luar ruangan. Melihat para manusia yang rela menerjang hujan, beberapa yang merenung di luar sana menyadari bahwa prioritas utama tidak ditempati oleh kebaikan tubuh masing-masing.
Deklarasi, kesehatan seseorang bukan suatu hal yang penting bagi orang lain. Dengan bukti bahwa mereka tetap meninggalkan tempat tinggal, tiada lagi alasan mengapa seseorang merelakan dirinya. Bahkan, imbauan pun sepertinya tidak berpengaruh bagi mereka. Vale, salah satunya.
Selepas kepulangan ketiga tamu, Vale termengung cukup lama hingga disadarkan oleh rasa sakitnya sendiri. Perbincangan kedua temannya menimbulkan kontra yang ganjil, meskipun hal adhesifnya mengenai pemilihan belajar bersama Kemal atau Vale. Yang pasti, Agista dan Christine tidak berada dalam situasi pertemanan sehat.
Selanjutnya, Vale melaksanakan kegiatannya seperti biasa. Mencuci pakaian kotor, menyapu, mengepel, membasuh tubuhnya, hingga memasak semangkuk mi instan yang menjadi makanannya di sore hari. Dia tidak keberatan, lebih baik begitu daripada tidak makan sama sekali.
Vale sempat menunggu panggilan atau pesan dari teman kecilnya, biasanya dia akan menghubungi Vale meskipun sudah bertemu. Apalagi mengingat keadaan yang kurang baik, biasanya Agista akan meminta maaf. Bukan karena Vale yang tidak ingin mengungkapkan maafnya, tetapi dia memang tidak terlibat dan seharusnya Agista pun paham mengenai hal itu.
Tetapi sampai tiga jam kemudian, Agista tidak menghubunginya sama sekali. Padahal, Vale benar-benar melihat status salah satu sosial media temannya yang aktif. Dia berulang kali membuat status, tetapi tidak menghubunginya. Ada apa? Apa Agista marah padanya?
Vale overthinking, apa mungkin dia harus meminta maaf? Belum sempat mengembuskan napas, petir sudah menyahut seakan-akan apa yang akan dilakukannya justru menyeret kekeliruan baru. Dia memang tidak percaya hal seperti itu, tetapi suasana hati Agista pasti masih menetap di situasi yang kurang baik. Vale memahaminya.
Mengingat bahan makanan dan cuaca yang menurutnya tidak terlalu buruk, akhirnya cowok berkaus hitam menyeret hoodie usangnya sebagai pakaian keluar rumah. Kepalanya dilingkupi selubung muka, ponselnya ditaruh begitu saja seolah tidak ada hal penting sampai dia mesti membawa ponselnya.
Vale tidak perlu menghubungi siapa pun, termasuk Agista dan keluarganya. Tidak ada yang peduli padanya, lagi pula kabar tersebut tidak terlalu penting. Pintu terkunci rapat, bersamaan dengan hujan yang semakin deras. Mengingat alat pelindung yang seharusnya dibawa, Vale celingukan mencari alat tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Degree of Love [Terbit]
Fiksi RemajaIni tentang Agista yang mengimpikan penulis sebagai masa depannya, juga Vale yang berusaha menguatkan dengan luka-luka yang menancap secara tersembunyi. Ini bukan tentang siapa yang lebih kuat, tetapi siapa yang bisa mempertahankan hubungan tersebut...