Penthalitan, kebencian mengebur perasaannya. Dia sulit menetralisasi perasaannya, meskipun semestinya hal itu tidak terjadi untuk seorang Agista. Tetapi dia hanyalah butir manusia di muka bumi, di mana seorang insan mempunyai gelembung akal dan nafsu yang sewaktu-waktu bisa menggembung sesuka hati. Balas dendam tiada guna, peribahasanya—sedikit hujan banyak yang basah.
Lagi pula, mengapa Agista harus membalas dendam? Fondasinya memang meretak, tetapi bukan berarti dia jauh dari kata ‘bertahan’. Mau bagaimana pun, gadis yang tingginya lebih rendah dari siapa pun bukan tipikal yang berminat melukai seseorang. Tidak terdapat pengecualian, prinsipnya memang begitu.
Sekarang, bukan waktunya untuk menyalahkan siapa pun. Dia tidak harus menelusuri cara efektif untuk mengaktifkan hal yang mentalis, dia hanya perlu bermenung tanpa kehadiran seseorang di sisinya, termasuk Vale. Sejujurnya, ada rasa iba saat cowok itu memilih pergi setelah mendengar respons temannya tadi. Sepertinya dia terluka, Agista juga kurang bisa mengendalikan emosinya.
Namun, apa yang dikatakannya tidak salah. Agista tidak mau membebani Vale dengan melindungi dua orang sekaligus, apalagi mereka merupakan teman dekatnya dengan mayoritas yang sama. Apa kata orang melihat seorang laki-laki dekat dengan dua perempuan? Kalau Mama Yasmin tahu betul mengenai hal ini, dipastikan Agista diminta untuk menjauhi temannya.
Dia tak bermaksud menciptakan suatu perforasi, tetapi lebih baik begitu ketimbang menanggung beban. Agista overthinking, dia berpikir bahwa selama ini temannya merasa kesulitan dan menganggap bahwa Agista hanyalah beban semata. Walau begitu, Agista juga tidak mau Vale terjebak dilema atau terpaksa melakukan ekuasional.
Sejenak Agista berpikir, apa Vale akan memilih Christine daripada dirinya? Tetapi mengingat momen mereka telah berlangsung sejak tiga belas tahun, apa mungkin Vale akan berpaling? Kontan benaknya diserang peluru faktual, memecahkan harapan yang semestinya bertegak tumpu. Mereka hanya teman kecil yang statusnya tidak bisa disamakan dengan status pasangan.
Tragis, sangat tragis. Entah perasaannya akan bagaimana jika Vale dan Christine dikabarkan memiliki ikatan yang lebih dari realitasnya. Bisa jadi mereka menyembunyikan hal itu selama ini, mengingat Christine sudah mendekatinya sejak SMP dan Vale yang berteman dekat. Sepertinya posisi Agista tidak dibutuhkan lagi.
Langkahnya seloyongan, tiba-tiba pening menyerbu kepala yang terpaku banyak pikiran. Mungkin menghindari setiap orang akan menjadi pilihan terbaik di hari ini, membiarkan perasaannya larut dalam temporal yang tidak menentu lebih baik daripada menggubris atau merespons perkataan orang yang menyeret emosionalnya juga.
Perlahan tetapi pasti, begitulah motivasinya sekarang. Dia bertumpu pada dinding yang menyambung wilayah sekolah, beranjak sebisanya dengan pikiran yang ke mana-mana menuju tempat tersajinya beragam makanan dan minuman. Beruntung situasinya tidak cukup ramai, Agista bisa menganggap hal ini salah satu upaya penstabilan hatinya juga.
Sampai di penghujung tembok, napasnya diembus pasrah dilanjutkan dengan kepala yang mendongak penuh. Agista menganggap istirahatnya di kantin sebagai simulasi sebelum ikatan antara Vale dan Christine terbongkar, dia mesti terbiasa dengan hal ini. Meskipun dilanda kekhawatiran atas sorotan publik, setidaknya dia telah mencoba.
KAMU SEDANG MEMBACA
Degree of Love [Terbit]
Novela JuvenilIni tentang Agista yang mengimpikan penulis sebagai masa depannya, juga Vale yang berusaha menguatkan dengan luka-luka yang menancap secara tersembunyi. Ini bukan tentang siapa yang lebih kuat, tetapi siapa yang bisa mempertahankan hubungan tersebut...