Sasa iseng membuka akun Instagram Kak Putra, mantan gebetannya--yang kini sudah punya pacar baru. Namanya Luna, pacaran baru seumur jagung, dan Sasa hadir sebelum Luna, bahkan sebelum Lail--mantan Kak Putra yang lain--tapi Sasa tidak pernah dijadikan seseorang yang spesial di hidup mantan gebetannya itu."Males gue liat si Sasa, udah kayak orang gila, sumpah. Jadi kayak deja vu sama kejadian pas kelas 12 itu." Nina bersuara, membuat Resti mengangguk.
"Tapi yang kelas 12 itu nggak parah. Sasa masih bisa chat sama Kak Putra. Pertama kali chat-an malah," timpal Resti, "masuk kuliah, deket lagi, terus Kak Putra sama Lail. Putus sama Lail, deket lagi, sekarang sama Luna. Gila."
"Tapi dia tuh baik," bela Sasa.
Sebenarnya Sasa tidak membual, Kak Putra memang baik, friendly, punya selera humor yang nyambung juga, tapi minus dari Kak Putra adalah plin-plan soal cewek dan menjadikan Sasa sebagai pelariannya.
"Mata gue benjol kalau bener Kak Putra baik, Sa." Nina terlanjur emosi. "Lo katanya cari yang pinter, friendly, dan... keriting. Jujur aja gue bingung banget sama selera turun temurun keluarga lo, nggak habis pikir."
"Ah, mana gue tau. Nenek gue suka sama kakek gue yang keriting. Ibu gue suka sama ayah gue yang keriting. Ya nggak aneh kalau gue juga kayak gitu, 'kan?"
"Tapi, Sa... ini tuh keturunan yang aneh, orang lain keturunan kaya raya, lah elu, keturunan suka sama orang keriting." Nina berdecak pelan.
"Udah, matiin aja ponsel lo, Sa. Lebih sakit liat orang yang bukan siapa-siapa pacaran sama orang lain." Resti menarik ponsel Sasa. "Gak boleh jadi pikiran."
Sasa pasrah saja, walau kelakuan dua sahabatnya ini kadang membingungkan, mereka tetap sahabatnya.
"Gue habis ini udah selesai kelas, biar nggak bosen mau ngerjain tugas lain di kafe." Sasa bersuara.
"Sama siapa?" selidik Nina.
"Rimba."
Nina dan Resti mengangguk. "Gue kayaknya nggak bisa ikut, Sa. Soalnya masih banyak tugas yang harus diurus," izin Resti.
"Gue juga, maaf. Gue diajak jalan sama Rizkand." Nina terkekeh pelan.
"Oke deh, gak pa-pa." Sasa memasukkan ponselnya ke dalam tas.
"Oh ya, jangan lupa, kalau Kak Putra ngasih permen, tolak. Ngasih bunga, tolak. Ngajak ngobrol, tolak. Lo teriak atau lari ke tempat yang ramai, ya," saran Nina sambil memastikan sahabatnya itu betul-betul mengerti.
"Lo kira gue bocil?!"
0o0
Minuman rasa taro yang sudah setengah itu memang sangat cocok menemani Sasa saat mengerjakan tugasnya. Ditemani live music dari kafe tempatnya duduk, minuman, serta jaringan yang lancar membuat Sasa merasa senang.
Kafe bernuansa outdoor dengan banyak pepohonan bernama Koboy Tjipelah Coffee itu membuat semangat Sasa dalam mengerjakan tugas meningkat. Apalagi, tugas kali ini tidak terlalu sulit, membuat Sasa secepat kilat mengerjakannya.
Sementara Sasa asik mengerjakan tugas, tak jauh dari tempatnya duduk, berkumpul beberapa lelaki yang mengamati Sasa dari tempat mereka duduk.
"Lama. Tinggal bilang, 'burung gelatik, burung gagak. Hai cantik, boleh kenalan gak?' Gampang," suruh Yoga, mendorong temannya yang bernama lengkap Jalu Garangga itu.
"Gak." Jalu menolak. "Masa pakai pantun?"
"Dih, nggak percayaan. Serah lo dah." Yoga mengangkat tangan, malas menanggapi sahabatnya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Anatomi Rasa [✔]
Teen FictionBertahun-tahun lamanya, Sasa masih saja terpaku pada bayang-bayang masa lalunya dengan sang mantan gebetan yang sudah tertinggal di belakang. Sebenarnya Sasa tidak berniat mencari pengganti, tapi yang hilang memang akan selalu berganti, maka dari...