Keenam, Pikiran

14 2 0
                                    


  Nina memandang Sasa dari atas sampai bawah, menggeleng-geleng atas kelakuan absurd sahabatnya tersebut.

"Serius, dibolehin bawa mobil lagi cuma gara-gara ada cowok nganterin lo pulang?" Nina menggeleng aneh. "Gila, gila. Kok bisa?"

"Pelet pelet pelet," canda Sasa, "gatau, Ayah tiba-tiba ngebolehin." Sasa memamerkan kunci mobilnya.

"Gue nebeng berarti ya?"

"Emang si Rizkand udah pensiun jadi pacar lo?" Sasa tersenyum licik.

"Ya engga sih, tapi kan hidup gue ga tentang Rizkand doang," elak Nina, beralih menyeruput jus leci-nya.

  Suasana kantin yang awalnya aman dan damai tiba-tiba berubah saat gerombolan anak Yharawana melintasi mereka. Memang tidak heboh, tetapi jarak ruang sekretariat Yharawana dan kantin ini memang lumayan jauh, jadilah cukup membuat beberapa orang bertanya-tanya.

"Cici!" panggil seseorang, Sasa sudah familiar dengan suara tersebut, memilih tetap fokus pada mangkuk baksonya.

"Sasa!" Rimba akhirnya duduk di kursi Sasa, Nina yang sudah tidak aneh dengan pemandangan tersebut memilih diam, menikmati pertengkaran antara Sasa dan Rimba.

"Apa?"

Rimba mengusap tengkuknya. "Lo boleh bawa mobil lagi?"

"Ya boleh lah! Lo kira gue ga bisa apa bujuk ayah sendiri!"

"Kok ayah lo bisa-bisanya ngebolehin sih?" Rimba nampak kesal. Dia hanya takut Sasa mengemudi secara ugal-ugalan hanya karena masalah dengan Putra.

"Ayah gue ya percaya gue lah. Sadar, lo siapa?" Sasa memutar bola matanya malas. "Udah ah, Rim. Kenapa jadi masalah, sih?"

"Gue takut lo kenapa-kenapa, Sasa."

"Gue baik-baik aja, Rimba. Gue ga akan nabrakin mobil gue secara ga masuk akal cuma gara-gara patah hati. Rim, itu tuh udah masa lalu tau ga? Chill." Sasa masih terlihat santai. Dilihatnya beberapa teman Rimba seperti Heru, Hilal, dan Jalu yang sudah mulai memesan makanan di kantin jurusannya.

"Serius ya, Sa? Lo kalau ada apa-apa telepon gue atau Rinjani, ya," pinta Rimba, "lo juga, jagain saudara gue, Na."

"Yeuh, waktu saudara kesayangan lo ini lagi gila-gilanya siapa yang ada di samping dia nyet?" Nina mendelik galak, tetapi masih asik dengan mangkuk baksonya.

  Rimba mengangguk, memilih duduk di meja bersama teman-temannya.

"Hai, Na." Rizkand datang begitu saja, duduk di sebelah pacar kesayangannya itu.

"Eh, anak Yharawana ngapain ke sini, Sa?" Rizkand tak sengaja melihat meja yang diisi penuh oleh anak-anak Yharawana, membuat bingung saja.

"Audeh. Si Rimba noh, kumat." Sasa masih kesal. Namun, lebih berusaha meredakan kekesalannya.

"Oh, protektif lagi nih sebagai saudara ter-ayang?" Rizkand mengejek. "Gue ke meja Yharawana, ah, ada si Heru, ga enak kalau ga nyapa." Rizkand sudah berdiri, berpindah meja ke meja seberang.

Nina geleng-geleng. "Cowok kalau sosialisasi luas banget ya, sampai sana-sini kenal."

Sasa mengangguk menyetujui. "Gue juga heran."

"Oh ya, cowok Yharawana yang lagi deket sama lo itu yang mana, Sa?" Nina bertanya, menebak-nebak siapa di antara mereka yang sedang dekat dengan sahabatnya itu.

  Sasa sempat melirik ke meja seberang, mendapati Jalu dengan jaket kulit dan buku yang ada di genggamannya.

"Tuh, satu-satunya cowok yang bawa buku." Sasa memfokuskan penglihatannya ke arah Jalu, membuat Nina mengikuti arah pandang Sasa dan mendapati bahwa lelaki yang diceritakan Sasa itu lumayan juga.

Anatomi Rasa [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang