Ketujuh, Irama

13 2 0
                                    


"Hai, Jal. Akhirnya lo dateng juga."

  Sasa tersenyum, menyiapkan kursi untuk Jalu duduk.

"Ini siapa ya? Bisa tinggalin gue sama Sasa berdua dulu gak ya?" Putra angkat bicara, tidak suka orang lain menganggu rencananya.

"Gue?" Jalu bertanya, "ya gimana Sasa aja sih."

"Put, gue tuh punya kehidupan kuliah. Bisa gak, gak usah ganggu gue mau nugas?" Sasa menatap tajam ke arah Putra. Menerangkan bahwa dirinya tidak suka dengan perlakuan Putra.

"Tapi aku masih belum sempet cerita sama kamu, Sa. Aku kangen banget, loh." Putra mengutarakan rasa 'kecewanya'. Namun Sasa tetap tidak peduli.

"Lo udah ambil referensi topik belum, Jal?" Sasa mengambil topik sembarangan, mulai mengeluarkan laptopnya.

"Belum, sih. Tapi udah ngumpulin beberapa e-book yang kayaknya keren sih kalau dijadiin referensi, Sa."

"Oh, bagus kalau gitu, Jal." Sasa mengangguk, membuka kunci layar ponselnya, lalu menyerahkannya pada Jalu.

  Jalu pikir itu adalah artikel atau halaman sebuah buku elektronik. Namun ternyata tidak, itu adalah halaman untuk menambah kontak baru. Jalu yang peka terhadap situasi langsung menuliskan nomornya di kontak Sasa dan mematikan hp-nya agar tidak mencolok di penglihatan Putra.

"Beneran sibuk ya, Sa? Ya udah deh kalau gitu, aku duluan ya." Putra akhirnya mengalah, beranjak pergi lalu mengelus puncak kepala Sasa. Sasa yang merasakannya langsung geli sendiri. Jijik.

  Jalu tersenyum tipis, tangannya memutuskan untuk mengelus puncak kepala Sasa. Membuat Sasa ikut tersenyum.

"Maaf ya, jadi ngerepotin. Gue mau manggil Rimba ke sini, nanti jadi ribut. Sekali lagi maaf ya." Sasa tersenyum, mengangkat kepalanya agar tegak kembali.

"Santai aja. Gue emang mau ngerjain paper juga, sih. Ya, sekalian bantuin lo dari Putra, mungkin?" Jalu menggaruk tengkuknya, salah tingkah. "Ngerjain tugas barengnya jangan di sini, yuk. Kita pindah aja."

"Boleh. Ngerepotin gak?"

"Enggak, sih. Tapi, lo bersedia nggak?"

"Seratus persen bersedia, sih." Sasa tertawa. Mulai membereskan laptopnya dan membuntuti Jalu.

  Sasa duduk di jok belakang, berboncengan di atas motor bersama Jalu, sekaligus mengikuti tempat tujuan Jalu. Setelah beberapa lama, barulah Sasa tersadar bahwa ini adalah daerah sekitar Saparua.

  Jalu memarkirkan motornya di sebuah kafe, di samping sebuah rumah sakit. Mereka pun berjalan beriringan, dengan ransel berisi laptop dan buku-buku.

"Gue suka dekorasinya, keren." Sasa berkomentar, asik memperhatikan sekeliling.

"Lo ambil tempat duduk aja, gue ke bawah sebentar gapapa?" tanya Jalu sambil mengecek handphone-nya.

"Iya, santai aja. Mau dipesanin atau pesan sendiri, Jal?" Sasa bertanya, memastikan.

"Boleh sekalian aja deh, samain kayak lo aja."

  Sasa mengangguk, memperhatikan Jalu yang berjalan menuruni tangga, sekaligus memperhatikan pelayan kafe yang memberikan menu.

  Nasi goreng adalah pilihan tepat untuk menjadi jalan keluar saat kita terlalu pusing dengan banyaknya menu di dalam kepala. Khas orang Indonesia, pikir Sasa, nasi goreng adalah makanan tersimpel menurutnya. Sedangkan untuk minumannya, Sasa memesan matcha latte, sedangkan Jalu sasa pesankan capuccino.

  Begitu sang pelayan menghampiri pelanggan lain, Sasa langsung mengeluarkan laptopnya. Dia tidak berbohong dengan adanya tugas-tugas yang harus diselesaikan, maka dia mulai menyicil satu per satu.

Anatomi Rasa [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang