Bab 3: Momen-momen Memalukan (I)

55 35 38
                                    

HARI pertama mengenal gedung SKOTB pun dimulai. Sebelum masuk kelas pertama, aku menyempatkan diri untuk mengelilingi lantai 1 dengan buku catatan mini yang kubawa-bawa. Penghuni gedung ini rata-rata cowok, hanya ada satu atau dua cewek, itu pun tenaga pengajar. Hal yang kucatat pertama adalah denah lokasi kelas-kelas tinju, lalu lanjut dengan lokasi toilet cowok dan cewek. Rupanya letak toilet cewek agak berjauhan dengan toilet cowok. Pantas saja aku tidak nampak tempo hari yang lalu. Lokasi toilet cewek berada di lorong kiri setelah lorong pertama dari area tinju. Pokoknya aku tidak bakal salah toilet lagi, titik.

Begitu aku sedang asyik-asyiknya
menulis denah dengan posisi jongkok menyender di tepi kursi panjang, aroma parfum maskulin tercium oleh hidungku. Sejenak kuhentikan menulis dan menangkap dua pasang kaki yang dibaluti dengan sepatu loreng hijau merk Vans.

"Halo," sapanya. Tunggu, suaranya agak familiar. Dengan pelan, aku mendongakkan kepala dan mendapati sosok yang sudah lama kukagumi selama SMA ini. Senyum ramah tersungging di bibirnya yang merah kecoklatan.

"Eh, Pak Varro," cetusku begitu saja, secara refleks aku berdiri.
Dia terkekeh melihat raut terkejut dari wajahku. Siapa sih yang tidak bakal terkejut kalau mendadak dihampiri oleh idola sendiri?

"Lara, 'kan?" tanyanya dengan satu alis terangkat.
"Iya, Pak."

"Kebetulan saya ketemu kamu di sini, ada yang mau saya sampaikan. Pas kamu serahkan berkas tawaran kerja sama itu ke Rhett, saya nggak melihat ada tanda tangan kamu di sana."

Aku menepuk jidatku. "Ups, kelupaan, Pak."

"Oke, gak papa," kekehnya. "Sekali lagi kalau mau antar, tanda tangan terlebih dahulu ya.."

"Oke, oke, Pak. Tapi untuk sementara ini, kerjaan saya lagi digantikan sama Thea, jadi bukan saya yang antar."

"Oh, saya udah tau. Sekaligus saya udah minta dia buat tanda tangan juga."

"Oh, maaf jadi merepotkan Bapak," aku menimpali dengan malu-malu.

Kedua alisnya bertaut. "Gak usah Bapak, kita sepantaran, lho! Aku masih 17."

Nada bicaranya yang kelewat santai membuatku terkekeh. "Emm, jadi panggil apa?"

"Varro aja."

Waduh, aku merasa tidak sopan kalau memanggil nama.

"Oke, Lara Lase?" pintanya.

"Bang Varro, saya rasa itu lebih baik," usulku.

"Oke, asal jangan 'om' atau semacamnya."

Kami kompak terkekeh. Sebenarnya aku masih ingin berbicara dengannya, tetapi bel masuk baru saja berbunyi.

"Saya masuk kelas ya, Bang," pamitku cepat-cepat.

"Oke, selamat belajar," sahutnya dengan senyuman manis.

Aku balas tersenyum. "Iya, Bang. Makasih."

Aku meninggalkan gedung itu dengan rasa senang, Varro benar-benar ramah. Dia juga menyenangkan dan lucu. Begitu aku masuk ke dalam kelas, Abira dan Cana memandangku jahil.

"Cie, yang baru aja pulang dari kandang para cogan," celetuk Cana.

"Kandang? Kenapa gak sekalian aja sarang burung?" komentar Abira.

Aku mengabaikan mereka dan memilih untuk mengeluarkan alat tulis. Seperti biasa, aku suka lupa kalau tinta pulpenku habis. Kalau keluar untuk membelinya di kantin, aku malas minta izin.

"Habis ya, Beb?" tanya Cana.

"Iya, Beb."

"Ini, pakai pulpenku yang lain," tawarnya seraya mengulurkan pulpen bermotif Batman.

FibTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang