Bab 1: Perkara Salah Toilet

237 76 246
                                    

KALAU bukan karena kelima teman satu geng, aku mungkin tidak bakal menginjakkan kaki di area ring tinju anak-anak Kelas Welter (Welterweight). Suara sorakan yang didominasi oleh kaum hawa semakin besar, kurasa aku butuh ruang, gendang telingaku nyaris ingin pecah. Tapi Cana menahan pergelangan tanganku.

"Beb, jangan kemana-mana dulu, pemenangnya masih belum kelihatan!"

Aku melirik sekilas ke atas ring, dua anak tinju itu masih aktif menyerang satu sama lain, mataku kini menatap Cana.
"Aku mau pipis," alibi acak yang mendadak hadir dalam pikiranku. "Kalau nunggu sampai ada yang menang, aku bisa pipis celana!"

Cana terkekeh. "Oh, ya udah deh. Tau toiletnya, 'kan?"

"Gak. Emang lewat mana sih?"

"Lewat koridor itu, lurus terus beberapa meter, terus belok kanan, lurus lagi, udah deh, tinggal cari female atau male toilet," dia menjelaskan sambil menunjuk.

"Oke, bentar ya," aku menimpali lalu melenggang pergi dari kerumunan tak berfaedah ini. Akhirnya aku bisa menghirup udara segar, aku memandang ke arah taman di sebelah kiri dan berniat ingin ke sana saja.

Tapi toh aku mendadak ingin buang air kecil, ini seolah seperti 'Ucapan itu Doa' terjadi padaku saat ini. Aku pun berbelok ke kanan, berjalan lurus ke depan hingga menemukan tulisan toilet. Langkahku ragu masuk ke dalam sebab tidak ada tulisan female atau male. Apakah Cana salah menyebutkan tadi? Dan apakah sebenarnya ini memang toilet umum? Rasa sesalku menjalar, harusnya aku pernah mengunjungi tempat ini. Suasana di sekitar tampak sepi, tak ada orang lalu-lalang, kurasa alasan tempat ring tinju berdesakan adalah karena semua orang datang ke sana.

"Ha-" aku mengurungkan niat mengatakan 'halo' di depan pintu toilet-kedengarannya aneh. Tanpa berlama-lama di sini, aku memasuki toilet, mencari-cari kamar mandi tak terpakai di dalamnya. Suara air di dalam kamar mandi paling ujung terdengar, tapi bukan itu yang mengejutkanku, tanpa sengaja mataku menangkap sesuatu yang mengganjal. Aku melihat dengan jelas terdapat dua jejeran panci urinal pria di dinding keramik yang berjarak satu meter. Buru-buru aku keluar, namun suara sebuah suara berat memanggil.

"Hei!"

Aku membalikkan badan dengan ragu-ragu, jantungku nyaris copot begitu melihat seorang pria tampan berotot bertelanjang dada sedang menatapku aneh.

"Saya salah masuk," ujarku cepat-cepat sebelum dia berpikir yang tidak-tidak.

Namun, bukannya membiarkanku keluar, dia justru menuduhku.

"Jangan akting, ini jelas-jelas toilet cowok," suaranya dalam dan mengintimidasi.

"A-apaan sih, Bang? Saya serius kalau saya salah masuk!" sudah pasti aku harus membela diri, toh aku bilang yang sejujurnya.

Dia lantas mendekat, nyaliku nyaris menciut. Meski agak gugup, mataku tidak bisa tidak melirik ke arah bentukan perutnya yang berkotak-kotak.

Dia menatapku bingung. "Kenapa masih di sini?"

Wajahku merah padam, aku bergegas keluar kamar mandi. Dia mengikuti di belakangku.

"Saya permisi dulu," ujarku terburu-buru setibanya di luar toilet.

"Tunggu."

Aku kembali memandang ke arahnya, dia meraih kaos hitam di atas gantungan baju di sebelah dinding luar toilet. Kurasa anak-anak tinju memang mendapat perlakuan istimewa dari yayasan sekolah-well, berbeda dengan toilet anak-anak SMA-kami tidak punya gantungan baju di dekat toilet. Selesai memakai kaosnya, dia menatapku serius. Meski dari jarak 3 meter, aku masih dapat merasakan aroma parfumnya.

FibTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang