Bab 11: Olahraga Bareng Anak Tinju-Pesona Varro

23 24 41
                                    

ARGON terlihat malu begitu Veronica mendekat.

“Kenapa, Yank? Kamu dipukuli?!”

Argon menggeleng.

Veronica menatap kami satu persatu. “Ini, ada apa ya, Coach?” dia menatap Varro.

“Argon menipu kami semua atas hilangnya dokumen yang dititip ke dia, dia sudah berusaha menutupi kelicikannya!”

Veronica masih terlihat bingung. “Emang, dokumennya mana, Coach?”

“Itulah kenapa kami tahan dia, kami mau menginterogasinya sekarang!”

“Ya, ampun, Yank, kamu beneran udah menipu?” dia menggoyangkan lengan kiri Argon.

Argon hanya mengangguk dan masih dengan tatapan jengkel.

What?!” tangan Veronica seketika terlepas dari lengannya. “Kamu buat malu aku aja, kalau kamu gak mau berubah, aku minta putus!”

Dari kata-katanya... berubah, seakan Argon itu memang suka menipu.

“Yank, tolong—“ belum sempat Argon melanjutkan ucapannya, Rhett menepuk lengannya. “Cukup!” ujar Rhett dingin. “Coach, saatnya interogasi!” dia mengisyaratkan kepada Varro untuk mengikutinya.

“Iya!” jawab Varro mantap.

Aku penasaran, apakah perlu mengikuti mereka atau menikmati jam istirahat dengan tenang. Varro mendadak berbalik dan menatapku, “ayo, Lara!”

Aku bergegas mengekor di belakang. Suara dengusan jengkel dari Veronica sempat terdengar di telingaku.

Sesampainya di ruang BK sekolah kami, Varro langsung mencecar Argon dengan pertanyaan sedangkan Rhett hanya diam dengan kedua tangannya berada di dalam saku celananya. Karena jengkel melihat wajah Argon yang tengah diinterogasi, aku memutuskan untuk memperhatikan Varro dari samping.
Setelah Argon mengaku sudah merusak dokumen itu, dia akhirnya mau bertanggung jawab untuk membiayai pengeluaran untuk pembuatan ulang dokumen sebesar 80% dan nilainya akan diturunkan dari B menjadi D. Memang kasihan, tapi aku merasa lega akhirnya kebenaran terungkap.

Hari Ke-1
Sebagai acara kolaborasi antara dua sekolah, satu minggu kemudian pasca interogasi terhadap Argon, kami pun melakukan olahraga lari jarak pendek di lapangan khusus lari yang letaknya berjarak kira-kira 300 meter dari sekolah kami. Seragam yang kami kenakan sama, yakni kaos hijau muda dengan paduan celana training hitam.

Kegiatan lari masih berjalan lancar hingga akhirnya Galenka berulah. Dia mendadak menjerit-jerit minta tolong. Karena sudah kenal sifat modus Galenka, aku hanya menatapnya dengan tatapan datar.

“Sepatuku kemasukan batu, sakit!” rengeknya.

Pedro hendak membantunya, tapi dia menolak mentah-mentah.

“Rhett, tolongin aku....” rengeknya lagi.

Tunggu, kenapa dia berani sekali memanggil Rhett?  Mereka bahkan tidak dekat.

“Yaelah, tinggal buang batunya, apa susahnya sih,” gumam Abira.

Sebagian guru menghentikan langkah mereka dan ikut memperhatikan Galenka.

“Ini olahraga lari yang serius bukan untuk main-main, jangan berhenti lagi!” tegur kepsek kami.

Sebagian guru dan para murid yang terus berlari, tidak menghiraukan kami yang tengah berhenti ini. Tanpa pikir panjang, aku bergegas lari, kelima temanku lantas mengekor. Dari kejauhan, Varro melirik ke arah kami. Kecepatannya berkurang secara perlahan-lahan hingga menyamai gerakku.

“Kenapa si Galenka?” tanyanya begitu menoleh.

“Sepatunya kemasukan batu, Bang!”

“Oh.”

Cana menggodaku, dia berbisik di telingaku. “Cie, didekati sama doi....”

Aku terkekeh pelan, Varro jadi menoleh ke arahku lagi. “Kenapa, Lara?”

“Nggak papa, Bang!”

Alis kirinya terangkat. “Masa?”

“Iya, serius....”

Kakiku tiba-tiba tersandung hingga membuatku terjatuh. “Auw!”

Varro bergegas mendekat. “You okay?”

“Iya, Bang,” jawabku sambil menahan sakit. Dengan pelan, aku menggulung celanaku sampai lutut. Kelima temanku datang menghampiri.

FibTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang