Mari Menikah

79 4 0
                                    

💕 Happy reading 💕

Saat memakai kostum aneh itu pun Kaelan sudah merasa buruk, benar saja saat orang lain melihat penampilannya membuat siapa saja yang melihat menyemburkan tawa.

Kaelan masih memasang tampang dingin, ia tidak menggubris ucapan dan tawa Alika yang pecah sebelumnya. Alika kini diam, tapi tetap menahan tawa walaupun tidak tertawa lepas, nyalinya menciut juga melihat tatapan dingin pria dihadapannya.

“Cantik,” gumam Kaelan spontan ketika melihat Alika menahan tawa dengan dagu yang belah sehingga aura kecantikannya terpancar.

Gumaman Kaelan terdengar oleh Alika, seketika ia berdeham, lalu memasang tampang tak suka.

“Maaf,” kata Kaelan.

Ia masih memperhatikan wajah Alika tanpa kedip, tangannya refleks terulur ingin menyentuh memar di wajah Alika akibat perbuatannya, rasa bersalah menyelimuti hati beku Kaelan.

“Pasti sakit, aku tidak sadar,” katanya lagi.

“Tentu sakit, apa hubunganmu dengan Laura?” tanya Alika yang mengingat racauan Kaelan yang memanggilnya dengan menyebut nama Laura—saudara sepupunya.

“Kami baru putus,” aku Kaelan secara gamblang.

“Dan kamu membayangkan akulah, Laura ketika tak sadar?” tanya Alika.

Kaelan tak mengelak, ia membenarkan apa yang dikatakan Alika melalui anggukan kepala.

“Tubuh tegap, kekar, berotot tapi hati lemah! Payah!” cibir Alika yang langsung membalikkan tubuh menuju sang Nenek dan beberapa tetangganya yang masih berkumpul.

Ucapan yang cukup pedas dari Alika akhirnya terlontar, begitulah Alika yang selalu berbicara apa adanya dan terkadang tak terkontrol.

Kaelan tidak menyahut ucapan pedas itu, ia mengikuti langkah Alika. Sang Nenek sudah duduk bersama tetangga lain dan kini dilengkapi dengan kedatangan seorang sesepuh warga serta pihak keamanan yang membuat Alika gusar.

'Runyam deh ini, runyam!' batin Alika bersuara.

“Siapa nama-mu, Nak?” tanya Pak Suroto—tetangga yang merupakan sesepuh di lingkungan tempat tinggal Nenek Farida.

Tanpa menjawab, Kaelan mengeluarkan data dirinya pada Pak Suroto. Setelah membaca, data diri Kaelan diberikan ke saksi lainnya dan terakhir diberikan ke Nenek.

“Saya mabuk, terpengaruh miras karena terlalu banyak menenggak minuman laknat itu, maaf sudah meresahkan dan merugikan anggota keluarga di rumah ini. Sungguh tidak ada niat saya sama sekali membuat kekisruhan,” kata Kaelan dengan permohonan maafnya.

“Kamu harus tetap bertanggung jawab atas apa yang sudah dilakukan pada cucu saya,” putus Nenek.

“Tidak, Nek! Alika tidak mau! Alika sudah memaafkan dan memaklumi, sungguh!” tolak Alika tegas.

“Tapi dia harus bertanggung jawab Alika.”

“Iya, dia sudah menjamahmu setidaknya menyicip sedikit dan itu harus tetap dipertanggungjawabkan," sahut tetangga rumahnya yang membuat geram Alika.

'Menyicip, huhhh! Memangnya aku minuman!' gerutu Alika dalam hati.

“Kalian pikir menikah mudah? Aku masih memiliki cita-cita yang belum terwujud, perjalananku masih panjang dan dengan menikah akan menghambat semuanya. Aku yang menjalani bukan kalian, jadi jangan ikut campur urusanku,” sungut Alika yang mulai kesal oleh orang sekelilingnya.

“Nenek tidak perlu menunggu jawabanmu Alika, ini adalah sebuah keputusan yang tak bisa diganggu gugat lagi,” sergah sang Nenek yang juga tetap pada pendirian.

“Saya akan bertanggung jawab, Nek,” putus Kaelan dengan suara tegas setelah sedari tadi hanya diam dan memperhatikan satu persatu orang yang berada dalam ruangan ini.

“Apa?!” pekik Alika yang tak percaya.

“Saya akan bertanggung jawab, mari menikah,” tambah Kaelan yang langsung mengajak Alika ke hubungan yang sakral dan tidak main-main itu.

“Gila! Ini gila, kamu pikir aku mau menikah denganmu setelah mengetahui kalau kamu pemabuk dan bukan hanya itu kamu pun memiliki pikiran kotor, oh my God. Ringan sekali kamu berkata mari menikah,” protes Alika, wajahnya sudah tampak frustrasi.

“Saya waras, tadi hanya kekhilafan saja. Beruntung Nenek datang tepat waktu, saya bersyukur akan hal itu. Seandainya saja telat datang, maka saya akan mencoreng nama baik militer tentunya. Biarkan saya bertanggung jawab atas sesuatu yang sudah saya lakukan padamu, Alika.”

Ingin rasanya Alika mencakar dan menyumpal mulut itu dengan tangannya ketika dengan ringan mengucapkan sebuah pernikahan dan pertanggung jawaban tanpa memikirkan kedepannya.

~Bersambung~


LOVE YOU SERSANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang