yang pertama?

70 4 0
                                    

💕 Happy reading 💕


Alika memundurkan tubuhnya, menundukkan kepala agar mengalihkan pandangan mata dengan Kaelan yang kini menatapnya tanpa kedip dengan tampang serius. Setelah mundur, ia membalikkan tubuhnya.

Jantungnya mencelos hingga rasanya sampai ke rongga perut, tatapan mata sang Jenderal begitu menusuk tajam ke manik mata Alika.

“Apa yang kamu lakukan?!” tanya ayahnya Kaelan penuh kewibawaan.

“Ma-maaf ... saya tidak terbiasa melihat kekerasan, jika anda mau menamparnya silahkan tapi jangan di depan saya. Tidak bermaksud membela Elan karena memang dia bersalah sudah merampas ciuman pertama saya, Pak. Eh?!” cerocos Alika yang tanpa sadar malah curcol di depan calon ayah mertua, ditepuk mulutnya sendiri sambil memejamkan mata.

‘Ya ampun, malunya. Duh ini mulut enggak bisa di rem!’ rutuk Alika dalam hati.

Ibu Kaelan—Winda mengulum senyum mendengar ucapan terlampau polos dari Alika, tidak ada salahnya ucapan Alika hanya menggelikan saja. Yang dikatakan Alika memang benar adanya, ia tidak pernah berpacaran, hanya memang teman lelaki cukup banyak. Prioritas hidupnya sekarang hanya lulus dari kuliah agar mempunyai gelar Dokter, tidak ada yang penting dari hal itu.

“Elan?” tanya Pak Aditama.

“Kaelan maksud saya, Pak. Nama Kaelan terlalu panjang dan sulit diucapkan, rumit namanya serumit orangnya,” celetuk Alika.

Kaelan yang dicap seperti itu mendengus kesal, tak terima disebut seseorang yang terbilang ‘rumit’ padahal maksud Alika rumit kisah cintanya dengan Laura dan sekarang terjebak dengan dirinya.

“Kamu selamat kali ini, Kaelan!” putus sang Jenderal tatapannya tetap sinis memandang sang anak, baru pulang bertugas sudah membuat masalah, pikir Pak Aditama.

“Silahkan duduk, Pak, Bu,” sapa Nenek Farida yang langsung memberikan tempat kepada orang tua Kaelan.

Kaelan dan Alika pun ikut duduk, tidak ada tempat lagi jadi mereka duduk bersisian, sekarang mereka benar-benar seperti terdakwa.

Pak Suroto yang merupakan sesepuh warga langsung menjelaskan kronologi apa saja yang terjadi, Pak Aditama dan Bu Winda hanya mendengarkan dengan seksama, tatapan tajam dilayangkan Pak Aditama pada Kaelan selama tingkah lakunya diadukan oleh sesepuh warga beserta Nenek Farida secara detail.

Tangan beliau sudah gatal untuk menampar keras anaknya, tapi beliau tahan sekuat mungkin karena atas permintaan sang pemilik rumah agar tidak ada kekerasan di dalam membuat keputusan.

Alika menautkan kedua tangan lalu meremas tangannya menetralkan rasa gugup bercampur malu, ini seperti aib untuk Alika. Ia bersyukur Kaelan tidak melakukan hal lebih dari itu, jika ia melakukan hal lebih dari itu, mungkin Alika akan larut oleh trauma berkepanjangan dalam hidupnya dan orang yang akan dibenci dalam hidupnya adalah Kaelan.

Di tengah kesusahan, tetap saja terselip rasa syukur di hati Alika, begitu pun Kaelan yang tidak mempermalukan nama baik orang tuanya dengan cara menjijikkan dan tak patut ditiru.

“Anak kami akan tetap bertanggung jawab, tapi tidak bisa menikah—"

“Apa?!” pekik Nenek Farida menjeda ucapan sang Jenderal.

“Tidak bisa menikah siri maksud suami saya, Nek,” imbuh Bu Winda sebelum menimbulkan kesalahpahaman.

Mulut nenek membulat membentuk huruf ‘O’ diikuti yang lain, Alika hanya diam. Lebih baik diam dari pada banyak bicara, sekalinya ia berbicara seringkali ucapannya tanpa rem dan itu membahayakan bisa juga memalukan.

LOVE YOU SERSANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang