One

40 10 32
                                    


Cassia berbaring tengkurap dengan hamparan buku-buku di hadapannya. Jari telunjuknya mengetuk-ngetuk layar ponselnya dengan tidak sabar.

Ping!

Akhirnya benda tersebut berdenting dengan notifikasi bertuliskan Overspace succesfully installed di layarnya. Dengan ragu, ibu jarinya menekan aplikasi bersimbol roket itu. Sebuah platform yang diklaim sebagai mental health community support.

"What's on your mind?"

Tulisan yang menyambutnya, melukiskan senyum pahit di bibirnya. Tanpa pikir panjang, jemarinya menari-nari di atas keyboard touchscreen-nya.

"What if I die?" tulisnya.

Tidak. Dia tidak menginginkan jawaban atau pun belas kasihan orang-orang, terlebih lagi orang yang tidak dikenalnya. Dia tahu betul bahwa ungkapannya hanya akan mengundang banyak perhatian. Namun, walaupun ini terdengar bodoh, dia sebenarnya hanya ingin menjawab pertanyaan yang diajukan oleh platform yang baru saja digunakannya itu.

Benar saja, dalam beberapa menit, kotak pesannya sudah dipenuhi dengan puluhan pesan yang berisi kalimat-kalimat klise yang membuatnya muak. Dengan malas, dia menggeser deretan pesan-pesan tersebut, tanpa benar-benar membacanya. Lalu, gerakannya terhenti ketika matanya menangkap simbol pesan suara. Seseorang dengan username Koala mengirim dua pesan suara.

"Dua hal yang aku yakin: Pertama, kau akan terlupakan. Kedua, tubuhmu akan membusuk dalam hitungan hari," suara seorang laki-laki terdengar.

Isi pesan tersebut bagaikan sebuah tamparan bagi Cassia. Pernyataan itu tidak salah, faktanya dia lebih senang menerima jawaban itu daripada ungkapan cinta dari orang asing yang bahkan tidak tahu siapa dirinya. Namun, untuk alasan yang tidak diketahuinya, rasa pedih menyelimuti hatinya.

"Oh, dan satu lagi, Princess, jika kau mengakhiri hidupmu, kau akan menciptakan sebuah kepalsuan di dunia yang sudah dipenuhi kepalsuan ini."

Cassia tidak pernah tertarik untuk berbicara dengan orang asing, terlebih lagi melalui dunia maya. Namun, rasa penasaran mengalahkan pendiriannya. Selama ini, belum pernah ada seseorang yang berbicara secara gamblang terhadapnya dan laki-laki asing yang tidak dia ketahui wujudnya itu berhasil menggugah hatinya yang telah lama menjauhkan diri dari dunia luar.

"Apa maksudmu?" balasnya.

"Bukankah kau bertanya tentang apa yang terjadi jika kau mati? Aku hanya menyampaikan pendapatku." Suara laki-laki itu terdengar acuh tak acuh.

"Aku tidak mengatakan kalau aku akan mengakhiri hidupku ... dan dari mana kau tahu aku perempuan?"

"Aku tahu kau perempuan karena kau memakai nama Bibble sebagai username."

"Apa hubungannya Bibble dengan perempuan?"

"Aku tidak bodoh, Princess. Aku tahu Bibble yang kau maksud adalah mahkluk berbulu yang menjadi peliharaan Barbie. Kemungkinan kalau kau adalah seorang laki-laki sangatlah kecil."

Bagaimana dia tahu tentang itu?

"Said the guy who uses 'Koala' as his username."

"Lagi pula, kau sudah mengakui kalau kau perempuan." Lagi-lagi, dia mengabaikan Cassia.

"Kau sangat menyebalkan."

"Tetapi kau tersenyum."

"Tidak." Benar.

Cassia mengerutkan dahinya. Untuk pertama kalinya, dia benar-benar tersenyum. Bahkan dia tidak menyadarinya.

"Boleh aku meneleponmu?" Pertanyaan yang tiba-tiba itu membuyarkan pikiran Cassia.

"Untuk apa?"

"Kau sudah mendengar suaraku. Aku juga ingin mendengar suaramu."

"Aku kan tidak meminta."

"Fair enough ... tetapi aku tetap ingin mendengar suaramu. Aku takut kalau ternyata kau bukan seorang perempuan."

"Kenapa kau menyebalkan sekali!" gerutu Cassia tanpa sadar.

"Ayolah, Princess," desak Koala.

"Lagi pula, kenapa kau terus membalasku dengan pesan suara?" Lagi-lagi, benda tidak bersalah itu menjadi sasaran kekesalan Cassia.

"Cassia? Kau belum tidur?" Tiba-tiba saja ibunya sudah berada di ambang pintu kamarnya, membuat Cassia terkejut dan secara naluri menyembunyikan ponselnya di bawah selimutnya.

"Eh ... sebentar lagi, Ma. Sedikit lagi tugasku selesai."

"Cepatlah tidur, ini sudah malam. Kau harus bangun pagi besok."

"Yes, Mother," ucapnya sambil menggerutu dalam hati.

Begitu ibunya pergi, Cassia mengeluarkan ponselnya lagi. Betapa terkejutnya dia ketika melihat layarnya yang menunjukkan bahwa dia sedang dalam panggilan dengan Koala. Dengan terburu-buru, dia mematikan sambungannya dan keluar dari aplikasi itu. Jantungnya berdebar kencang di dadanya.

Kemudian, dia melempar ponselnya ke sofa. Begitu menyadari apa yang dilakukannya, dia memandang ngeri ponselnya yang melayang. Beruntung, benda elektronik tersebut mendarat tepat di sela-sela bantal dan bukannya ke lantai, membuat Cassia mendesah lega.

Dia memejamkan matanya dan menenggelamkan wajahnya ke dalam hamparan kertas yang berisi angka-angka, merasa malu. Dia mencoba berkonsentrasi untuk mengerjakan tugasnya, tetapi kepalanya dipenuhi dengan kata Koala. Seolah-olah, kata itu memiliki mulut dan meneriakkan namanya sendiri.

Akhirnya, Cassia menyerah. Dia mematikan lampu kamarnya dan menyembunyikan dirinya di bawah selimut, berharap semoga mimpi tentang Koala tidak menghampirinya.

OVERSPACETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang