Five

6 0 0
                                    

Bagi sebagian orang, mungkin melukis adalah sesuatu yang membosankan, tetapi tidak bagi Cassia. Melukis adalah sesuatu yang selalu membuatnya merasa tenang. Menurutnya, ia bisa dengan leluasa menyalurkan emosi yang bersarang di benaknya. Entah bagaimana, melukis bisa membuat rasa lelahnya menghilang. Jadi, hal lebih baik apa lagi yang bisa dilakukannya setelah seharian yang melelahkan kalau bukan melukis?

Sudah sejak tiga puluh menit yang lalu ia menghabiskan waktu di bagian sudut kamarnya yang ia ubah menjadi studio lukis mini. Tangannya dengan mantap sekaligus lembut menorehkan beberapa jenis warna dengan kuasnya, menyampaikan sebuah cerita tanpa kata dan suara. Dia begitu tenggelam di dalam cerita itu, seolah-olah ia berada di dunia yang sama sekali berbeda.

"Cassia?" Ibunya yang tiba-tiba masuk mengerenyit dan menatap dengan tatapan tidak setuju ketika melihatnya sibuk melukis. Kilatan rasa jijik terpancar di matanya ketika melihat tangan dan beberapa bagian wajah putrinya yang belepotan cat.

Cassia terlonjak, membuat goresan kuasnya sedikit menyimpang. "Ada apa, Ma?" Ia meletakkan kuasnya dan menoleh ke arah ibunya, tanpa sadar menggigit bibir bawahnya.

"Kau tidak pergi malam ini?"

"Ke mana?" Seingatnya, tidak ada satu rencanapun yang ia buat untuk malam ini.

"Cassia ... ini Jum'at malam dan bukannya hang out dengan teman-temanmu, kau malah bermain-main dengan benda kotor itu."

Cassia membuka mulutnya, hendak menyangkal pernyataan ibunya, tetapi ibunya memotong sebelum ia sempat menyuarakan sepatah kata.

"Kau ini masih muda. Kau perlu bersosialisasi dan bukannya mengurung diri. Kau sama saja dengan papamu." Ibunya mengomel.

"Aku lelah, Ma."

"Kalau lelah, seharusnya kau istirahat bukannya menghabiskan waktu membuat gambar tidak jelas."

Cassia tidak mengatakan sepatah kata pun. Hatinya terasa seperti ditikam mendengar perkataan ibunya.

Kenapa melakukan sesuatu yang membuatku senang selalu dianggap salah?

Ini bukan yang pertama kali, tentu saja. Namun, tetap saja tidak mengurangi rasa pedihnya. Seperti halnya ketika kau teriris pisau. Hanya semata-mata karena kau sering teriris, bukan berarti kau tidak akan merasa sakit lagi. Hanya saja, kau sudah terlalu familiar dengan rasa sakit itu dan itu tidak lagi mengejutkanmu. Setidaknya, itulah yang dirasakan Cassia saat ini.

"Sudahlah, percuma saja berbicara denganmu. Kau tidak pernah mendengarkan perkataan Mama." Setelah mengatakan itu, ibunya keluar dan membanting pintunya tertutup. Tidak lama kemudian, Cassia mendengar suara pintu depan terbuka dan menutup. Lalu, terdengar derum mobil ibunya.

Cassia duduk termenung memandangi kanvasnya yang masih setengah kosong. Tanpa disadarinya, air mata mengalir membasahi pipinya, menciptakan sebuah jejak di atas kulitnya yang tercoreng cat. Ia mengusap air matanya dengan kasar. Namun, bukannya berhenti, air matanya justru mengalir semakin deras. Pada akhirnya, ia menyerah. Ia tidak lagi sibuk menghapus air matanya. Ia membiarkannya jatuh.

"Berhenti menangis." Ucapan ibunya berputar di sela-sela isak tangisnya.

"Hanya orang-orang lemah yang menangis. Kau bukan orang yang lemah, bukan?"

"Aku tidak mau memiliki seorang anak yang lemah."

Ia tahu betul kenapa ibunya tidak suka, atau benci, melihatnya melukis. Ayahnya. Ia tahu kalau melihatnya melukis membuat ibunya teringat akan ayahnya dan itu membuatnya marah. Namun, tidak seharusnya ibunya menyalahkan dirinya, bukan?

Ia sudah mulai mengerti sekarang. Mungkin, sama sepertinya, ayahnya juga lelah menghadapi ibunya. Sayangnya, Cassia bukan ayahnya yang bisa memilih untuk pergi. Ia tidak memiliki pilihan itu. Bahkan, ia tidak yakin kalau ia memiliki pilihan. Sepanjang hidupnya, ia hanya menuruti apa yang dikatakan ibunya. Ia tidak memiliki pilihan untuk berkata tidak.

Cassia lelah.

Tidak, bukan secara fisik. Ia merasa kalau ia sanggup berlari memutari taman yang ada di dekat tempat tingalnya sebanyak sepuluh kali putaran. Namun, secara emosi, ia merasa terkuras. Kalaupun ia bisa tidur, tidak akan ada jangka waktu tidur yang bisa memulihkannya.

Mungkin ada ... kalau itu selamanya.

Entah berapa lama ia menangis. Begitu ia berhenti, kepalanya terasa berdenyut-denyut dan napasnya terasa berat. Namun, beban di hatinya belum juga menghilang.

Tangannya meraih ponselnya dan memandangi foto yang terpasang menjadi wallpaper-nya, dirinya yang masih berusia empat tahun duduk di pangkuan ayahnya, sedang tertawa lepas. Cassia tidak ingat apa yang membuatnya tertawa pada saat itu. Satu hal yang ia yakin adalah bahwa ayahnya menyayanginya. Ia bisa melihatnya di mata ayahnya melalui foto itu dan itu selalu berhasil menguatkan dirinya.

"Cassia rindu, Pa," gumamnya lirih.

Kalau saja ia memiliki cara untuk menghubungi ayahnya, segalanya akan terasa lebih mudah. Namun, ibunya sudah memastikan bahwa ia tidak akan bisa melakukan itu. Sayangnya, Cassia tidak tahu kalau ibunya yang melakukan itu.

Cassia mungkin tidak percaya ketika ibunya mengatakan bahwa ayahnya pergi karena tidak menyayanginya, tetapi ia percaya ketika ibunya mengatakan bahwa ia tidak tahu bagaimana cara menghubungi ayahnya. Karena itulah, Cassia tidak pernah mencoba bertanya lagi. Bahkan, tidak di dalam benaknya.

Percuma saja, bukan?

Selama beberapa saat, Cassia hanya memandangi foto itu dalam diam. Tidak berpikir tentang satu hal pun, sampai layarnya mati dan hanya menampilkan kegelapan. Ironis sekali, pikirnya. Ia memasang foto itu untuk menguatkan dirinya, untuk mengingatkan dirinya tentang sebuah kenangan indah. Namun, ternyata semesta tidak berpihak padanya, karena, bahkan benda mati itu pun berusaha mengembalikannya ke dalam kenyataan hidupnya yang gelap dan kosong. Akhirnya, ia memutuskan untuk mengganti wallpaper-nya menjadi warna hitam tanpa gambar apapun.

"There. Now you don't need to bother reminding me about how dark my life is," ucapnya sinis. "Like I can ever forget it, jeez."

Sambil menghela napas panjang, ia beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Ia memutuskan untuk berhenti melukis dan mencoba untuk tidur. Bahkan, ia tidak berusaha untuk memikirkan sesuatu yang akan membuatnya tenang, seperti yang biasa ia lakukan.

Ketika hendak keluar dari kamar mandi, tangannya tidak sengaja menyenggol rak berisi peralatan mandi yang ada di atas meja wastafelnya. Tatapannya jatuh pada alat pencukur alis yang entah kenapa tergeletak di luar kotaknya. Sejauh yang ia ingat, ia selalu menyimpannya dalam satu kotak dengan benda-benda tajam lainnya. Lalu, tiba-tiba saja benda itu sudah berada di genggaman tangannya.

Mungkinkah ini sebuah jawaban untukku?

OVERSPACETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang