Duk! Duk! Duk!
Kaki yang terbalut dengan sepatu boot hitam itu mengetuk-ngetuk lantai beton tempatnya duduk, seolah-olah mengiringi sebuah nyanyian. Kakinya yang lain berselonjor dengan santai. Sepertinya, pemiliknya tidak peduli dengan pasir sisa material bangunan yang mengotori celana hitamnya.
Tubuh dan kepalanya bersandar pada tiang penyangga yang ada di belakangnya. Kedua tangannya bersedekap di dada, menahan hembusan angin dingin yang menembus jaketnya yang tipis. Matanya yang tersembunyi di bawah bayangan tudung jaket hitamnya terpejam. Lebam-lebam yang membiru menghiasi wajah pucatnya yang tampak lelah.
Sungguh, orang yang melihatnya pasti akan takut … atau mungkin memandangnya dengan tatapan penuh rasa iba atau hujatan yang menjemukan mata. Oleh sebab itulah, lantai dua gedung setengah jadi yang terbengkalai di sekolahnya itu menjadi tempat favoritnya.
Tidak ada seorang pun yang mengetahui dirinya berada di sana. Tidak ada pula yang berani mendekati gedung itu karena rumor bodoh tentang hantu yang tersebar di antara mereka. Hanya sayup-sayup suara teman-temannya di lapangan yang menembus gendang telinganya.
Teman?
Tidak, bukan teman.
Entah apa kata yang tepat untuk memanggil mereka. Dia tidak pernah berniat untuk memikirkannya. Lagi pula, untuk apa memikirkannya kalau dia tidak peduli tentang hal itu? Bukankah itu hanya akan membuang waktunya?
Ya, Caelum sudah tidak peduli apakah dia memiliki teman atau tidak. Hidupnya sudah cukup rumit tanpa harus ada orang lain yang berusaha membantunya. Dua tahun sudah cukup baginya untuk belajar bahwa tidak akan ada orang yang cukup peduli padanya selain dirinya sendiri. Kalau keluarganya saja tidak peduli terhadapnya, orang asing mana yang akan peduli? Tidak ada gunanya lagi berharap … dan itulah keputusan yang menjadi pilihannya. Berhenti berharap.
Caelum membuka matanya ketika mendengar percakapan dua orang gadis tepat di bawahnya. Dari tempatnya duduk, dia bisa melihat dengan jelas siapa mereka.
Caelum tahu siapa mereka. Tentu saja dia tahu. Mereka berdua berada di beberapa kelas yang sama dengannya. Hanya saja, dia tidak pernah tertarik untuk mengenal mereka.
Untuk apa?
Mereka berdua memang cantik, tetapi Caelum yakin kalau mereka berdua tidak akan jauh berbeda seperti halnya seluruh siswa di sekolah ini yang berasal dari keluarga berada. Memperlakukannya seperti sampah. Padahal, apa yang mereka tahu tentang dirinya?
Selama beberapa saat, dia hanya memperhatikan keduanya, perasaan waswas menyelimutinya. Namun, akhirnya dia kembali memejamkan matanya ketika salah satu dari mereka beranjak pergi, yakin kalau mereka tidak mendatanginya. Bahkan, tidak satu pun dari mereka yang menyadari keberadaannya.
Tidak lama kemudian, telinganya menangkap suara seseorang menggerutu. Dia tidak sedikit pun menunjukkan ketertarikan, yang ada justru perasaan terganggu karena ketenangannya direnggut.
Drrt! Drrt!
Ponsel di sakunya bergetar, menandakan kalau dia mendapatkan sebuah pesan. Entah siapa yang menghubunginya kali ini. Satu hal yang dia yakin adalah pesan tersebut tidak akan menyenangkan.
Tidak bisakah orang-orang tidak menggangguku sebentar saja?
Dengan malas, tangannya merogoh saku celananya dan mengeluarkan ponselnya. Dari layarnya yang retak, dia masih bisa melihat dengan jelas simbol roket yang muncul di panel notifikasinya.
Jantungnya seolah-olah terloncat, membuatnya menegakkan posisi duduknya. Tiga hari lamanya dia menantikan jawaban dari gadis asing yang bersembunyi dibalik nama karakter berbulu dalam film anak-anak. Caelum tidak pernah mengerti kenapa mereka menyukai karakter aneh itu, padahal menurutnya sama sekali tidak lucu. Justru menakutkan.
Menit demi menit berlalu. Pandangannya tidak sedetik pun teralihkan dari layar. Kedua ibu jarinya tampak lincah menekan huruf demi huruf, seolah-olah memiliki pengelihatan tersendiri. Bahkan, bibirnya melukiskan senyuman manis yang telah lama hilang.
Tidak pernah sekali pun sebelumnya dia benar-benar tertarik akan sesuatu. Caelum tidak mengerti kenapa dirinya begitu tertarik dengan gadis asing ini. Faktanya, gadis itu adalah orang pertama yang diajaknya berbicara dan pertama kali dia mengiriminya pesan suara, itu justru karena rasa kesal.
"Sayang sekali kau tidak ada di hadapanku saat ini, Koala. Aku benar-benar ingin membunuhmu.” Caelum membeku. Untuk pertama kalinya, dia mengarahkan pandangannya ke arah gadis yang sangat populer di sekolahnya itu.
Apakah gadis itu baru saja menyebut Koala? Ah, tidak mungkin. Aku pasti salah dengar.
Caelum berusaha meyakinkan diri bahwa apa yang didengarnya sangatlah tidak mungkin. Namun, hati kecilnya tahu betul bahwa itu salah. Dia mendengarnya dengan jelas dan tidak ada orang lain di sana kecuali mereka berdua.
Sementara tangannya menjawab pesan-pesan yang diterimanya, pikirannya sudah tidak memperhatikan percakapannya. Matanya sesekali beralih ke arah gadis itu. Bibirnya mengulas senyuman melihat setiap reaksi yang ditampilkan gadis itu. Namun, otaknya berusaha mencari jawaban dari berbagai pertanyaan yang berputar-putar di kepalanya. Tentu saja, tidak satu pun yang masuk akal baginya.
Cassia? Tetapi kenapa? Dia tidak berbeda dengan semua orang. Hidup dalam kesempurnaan.
Caelum lupa akan kalimat yang ditulisnya beberapa menit yang lalu. Bahwa tidak ada seorang pun yang tahu tentang perasaan yang dirasakan orang lain, pun pikiran yang ada di kepala mereka.
Tetapi, bukankah manusia memang begitu?
![](https://img.wattpad.com/cover/297155118-288-k315785.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
OVERSPACE
Teen FictionOverspace by. @keirablanks "What if I die?" "Dua hal yang aku yakin: Pertama, kau akan terlupakan. Kedua, tubuhmu akan membusuk dalam hitungan hari." "..." "Oh, dan satu lagi, kau akan menciptakan sebuah kepalsuan di dunia yang sudah dipenuhi kepals...