Hening.
Suasananya terlalu hening hingga ia dapat mendengar denyut nadi di belakang telinganya berdentam-dentam. Ia tidak suka ini. Bulu kuduknya meremang, keringat dingin mengalir di punggungnya, tangannya kebas, dan perutnya terasa seakan-akan ada seseorang yang dengan sengaja memasang ikat pinggangnya dengan erat.
Dengan enggan, ia melangkahkan kakinya untuk masuk ke dalam rumahnya. Lebih tepatnya, bangunan yang pernah ia sebut rumah. Bahkan, ia merasa lebih baik berada di sekolah dan dikelilingi oleh orang-orang seumurannya yang selalu menghinanya daripada berada di rumahnya.
Ia sudah terbiasa dengan suasana kosong yang menyelimuti rumahnya. Namun, tidak dengan keheningan. Suara televisi atau radio tidak pernah absen terdengar karena ayahnya bermusuhan dengan keheningan. Ketika tidak ada suara apa pun yang didengarnya, ia tahu kalau sesuatu telah terjadi.
Benar saja, jantungnya berhenti berdetak ketika matanya menemukan ayahnya terbaring tengkurap di lantai dengan memeluk botol whiskey, seolah-olah hidupnya bergantung pada benda itu. Aroma alkohol yang sudah sangat ia kenal bercampur dengan urine, membuatnya merasa mual. Jauh di dalam benaknya, ia ingin pergi dari sana dan tidak ingin kembali lagi. Ia tidak peduli jika ia harus tidur di jalanan. Namun, laki-laki yang terbaring tidak berdaya itu adalah ayahnya dan ia membutuhkan pertolongannya. Walau bagaimanapun, ayahnya sudah memberikannya kehidupan. Hal terkecil yang bisa ia lakukan untuk membalasnya adalah berada di sisi ayahnya.
Tolong, jangan biarkan ia pergi juga, dalam hati ia memohon, merapalkan kalimat itu berulang-ulang, seolah-olah itu adalah mantra yang bisa membuat seseorang tetap hidup tidak peduli apa yang terjadi. Ia mungkin benci dengan keadaan ayahnya, tetapi rasa sayangnya terhadap laki-laki yang sudah membesarkannya itu tidak pernah sirna. Ia yakin bahwa di balik seorang pemabuk yang orang lain lihat, diri ayahnya yang sebenarnya masih ada, tersembunyi di balik rasa sakit dan kehilangan.
Beruntung, semesta masih berpihak padanya hari ini. Kelegaan membanjirinya ketika ia merasakan jantung ayahnya masih berdetak. Napasnya sedikit tersengal, tetapi masih ada. Walaupun begitu, ia tetap merasa sedih melihat keadaan ayahnya. Hanya perlu menunggu waktunya tiba sampai ia menemukan ayahnya tergeletak tanpa nyawa karena tubuhnya sudah tidak mampu lagi memproses kandungan alkohol yang masuk ke dalam pembuluh darahnya. Tentu saja ia tidak menginginkan hal itu terjadi, tetapi apa yang bisa ia lakukan selain merawat ayahnya kalau orang-orang di sekitarnya sudah menutup mata dan telinga mereka? Ia tahu, ayahnya bukan seseorang yang sempurna, tetapi bukankah semua orang begitu? Tidak ada satu orang pun yang sempurna di dunia ini, bukan? Ayahnya hanya melakukan satu kesalahan dan mereka membencinya, seolah-olah mereka tidak pernah berbuat salah.
Ia mendongak ketika merasakan air matanya akan jatuh. Ia menghela napas panjang dan memohon pada siapapun yang ada di atas sana untuk memberikannya kekuatan. Lalu, ia memapah tubuh lunglai ayahnya ke kamar mandi dan memandikannya.
Ketika ia selesai memandikan, mengganti bajunya, dan akan membiarkannya tidur, tiba-tiba mata ayahnya terbuka dan menatapnya dengan nyalang. "Caelum, kau sudah pulang?" tanyanya dengan suara serak. "Apa yang terjadi padamu?" Kepanikan terdengar jelas di dalam suaranya.
"Kau bertengkar lagi, ya?" dahinya berkerut memandangi wajah putranya. Ia sama sekali tidak sadar bahwa ia sendiri yang menyebabkan hal itu dan itu membuat Caelum tercekat, tidak mampu menyuarakan sepatah kata pun.
"Mamamu pasti akan mengomel kalau melihatmu seperti ini." Jika pertanyaan sebelumnya membuat Caelum merasa kasihan, kepanikan ayahnya sekarang membuatnya merasa sedih.
"Mama tidak di rumah. Jadi, Papa tidak perlu khawatir, oke? Sekarang istirahatlah, Pa." Ayahnya tidak menjawab, hanya menggumam tidak jelas dan kemudian tertidur.
Seperti biasa, ia bergegas membersihkan lantai ruang tamunya. Selama ini ia berusaha membuat rumahnya terlihat normal, tetapi sayangnya ia tidak bisa membuatnya terasa hangat kembali.
Caelum mendesah. Dadanya terasa begitu sesak, seolah-olah tidak ada cukup udara untuk bernapas di rumahnya itu. Namun, ia tidak membiarkan dirinya meratapi keadaannya. Menurutnya, semakin ia memikirkannya, semakin perasaan itu akan membelenggunya, mencegahnya bergerak.
"Baby, do you know why you're named as Caelum?" tanya ibunya kala itu. Caelum masih ingat, saat itu hari minggu sore. Ia dan ibunya menghabiskan waktu di pantai, menikmati pemandangan matahari terbenam, seperti yang selalu mereka lakukan. Saat itu, ayahnya sedang berada di luar kota, sehingga tidak bisa mereka hanya berdua. Caelum yang merasa lelah setelah bermain-main, memutuskan untuk duduk dan memakan keripik kentang kesukaannya.
Ia menggeleng. Tidak.
"Do you know what it means?"
"Sky?" Caelum sudah pernah mendengar ayahnya mengatakan itu.
Ibunya tersenyum sambil mengusap-usap kepalanya, kemudian mengangguk mengiyakan. "Now, look at that ... beautiful, isn't it?" ucapnya mengisyaratkan pada pemandangan di hadapan mereka.
Caelum mengangguk.
"You're beautiful, just as the sky."
Kalimat itu membuat pipi tembamnya memerah.
"Langit mengajarkan kita bahwa harapan akan selalu ada ... meskipun kita merasa seakan-akan kita tidak memilikinya." Ibunya menggumam, lebih kepada dirinya sendiri. Ia mengira kalau Caelum tidak akan bisa memahami kalimatnya. Mungkin saat itu ia belum memahaminya, tetapi bocah kecil itu benar-benar mendengarkan.
"Setelah mendung, ia menampakkan pelangi yang indah. Setelah malam yang gelap dan dingin, ia mendatangkan pagi yang cerah dan dipenuhi kehangatan. Bahkan, saat malam pun kau masih bisa melihat bintang," lanjutnya.
Caelum mendongak untuk menatap ibunya, lalu tersenyum. Ia sangat suka memandangi langit yang penuh bintang.
Ibunya membalas senyumnya. "Ketika kau dewasa nanti, tidak peduli apa yang terjadi, jangan pernah menyerah, oke?"
Caelum yang saat itu masih berusia enam tahun, tidak sepenuhnya memahami maupun memperhatikan ucapan ibunya. Ia terlalu sibuk dengan makanannya dan hanya asal mengangguk saja. Namun, entah bagaimana, memori tentang percakapan itu masih diingatnya dengan jelas sampai sekarang. Bahkan, ia masih bisa merasakan kecupan ibunya di keningnya setelah mengiyakan permintaan yang menurutnya tidak masuk akal itu.
Mama sangat tidak adil ... membuatku berjanji bahkan sebelum aku mengerti apa artinya.
Caelum mendesah, tidak suka dengan arah pikirannya. Ia begitu lelah. Ia rindu kehadiran orang tuanya. Ia ingin memiliki kehidupan layaknya remaja seumurannya, meskipun hanya sebentar. Namun, ia tahu kalau kehidupan itu tidak akan bisa dimilikinya.
"Harapan itu ada di dalam dirimu."
Kalau memang harapan itu ada, lalu kenapa Mama memilih untuk mengakhiri semuanya? Mungkin Mama salah. Mungkin harapan itu tidak pernah ada. Kalau memang ada, harapan itu jelas bukan untukku.
KAMU SEDANG MEMBACA
OVERSPACE
Teen FictionOverspace by. @keirablanks "What if I die?" "Dua hal yang aku yakin: Pertama, kau akan terlupakan. Kedua, tubuhmu akan membusuk dalam hitungan hari." "..." "Oh, dan satu lagi, kau akan menciptakan sebuah kepalsuan di dunia yang sudah dipenuhi kepals...