Three

14 4 15
                                    

Cass."

"Hmm?"

"Sepertinya aku meninggalkan ponselku di loker."

Cassia berhenti berjalan dan berbalik, menghadap Izzy yang berhenti beberapa langkah di belakangnya, sibuk menggeledah ranselnya.

"Kau ini selalu saja seperti itu," desahnya sambil memutar matanya. Bukannya dia tidak peduli, tetapi kecerobohan temannya itu bukan hal baru lagi baginya. 

"Kalau begitu, ambillah dulu. Aku akan menunggu di sini," ucapnya sambil beranjak duduk di bangku yang ada di dekatnya.

Mendengar itu, Izzy menyeringai senang. Tidak sedikit pun rasa bersalah terlintas di wajahnya. "Aku tidak akan lama."

Cassia mengambil ponselnya dari dalam ransel setelah Izzy menghilang dari pandangannya. Seperti yang sudah dilakukannya selama tiga hari terakhir, dia membuka aplikasi bersimbol roket itu, lalu memandangi layarnya dengan perasaan bimbang. Pikirannya dipenuhi dengan hal-hal yang dia tahu itu konyol, tetapi tidak juga mampu menghentikannya.

"Princess, kau masih hidup, 'kan?" Pesan yang sudah dibacanya berkali-kali itu masih belum terjawab juga. Padahal, hal itu mudah saja dilakukannya.

Laki-laki asing di balik nama Koala itu menghantui pikirannya, tetapi rasa penasarannya tidak serta merta memunculkan keberanian dalam dirinya untuk menjawab.

Bagaimana kalau dia tahu namaku? 
Bagaimana kalau dia tahu siapa aku sebenarnya?

Cassia berulang kali memutar percakapan antara dirinya dengan ibunya malam itu. Masih segar dalam ingatannya kalau ibunya menyebut namanya. Sayangnya, dia tidak tahu sejak kapan panggilan itu tersambung.

Bagaimana kalau dia menganggapku pengecut? 
Bagaimana kalau dia mengejekku? 
Bagaimana kalau—

"Oh, berhentilah berpikir yang tidak-tidak, Cassia!" ucapnya pada diri sendiri. "Lagi pula, bukankah kau memang seseorang yang lemah dan pengecut?"

Tangannya reflek terangkat untuk menutup mulutnya ketika sadar di mana dia berada. Matanya membelalak dan rona merah menghiasi pipinya. Dengan napas tertahan, dia mengedarkan pandangan ke sekelilingnya. Ketika tidak ada bayangan seorang pun yang tertangkap retina matanya, barulah dia menghembuskan napas lega. 

Jam sekolah sudah berakhir sejak dua jam yang lalu, tetapi jadwal latihan cheerleading memaksa Cassia untuk tetap tinggal. Namun, keberuntungan berpihak padanya karena teman-temannya masih ada di gedung belakang. Setidaknya, itu yang ada di pikirannya. Gadis itu tidak menyadari bahwa sebenarnya ada satu orang yang mendengar dan memperhatikannya.

Pandangan dan pikirannya kembali teralih ke pesan yang ditampilkan layar ponselnya. Merasa lelah dengan spekulasi-spekulasi tanpa jawaban yang muncul di kepalanya, Cassia memutuskan untuk menjawab.

“Sayangnya masih,” tulisnya. Jantungnya berdebar-debar begitu jari-jarinya menekan tombol send dan praktis terlompat ketika ponselnya bergetar beberapa detik kemudian.

"Oh, Dear Lord, akhirnya kau menjawab juga. Aku minta maaf." Koala membalas.

Cassia mengerutkan dahinya, merasa bingung dengan jawaban Koala. "Memangnya kenapa? Dan, untuk apa kau minta maaf?"

"Aku hanya merasa bersalah."

"Kenapa?"

"Entahlah … sepertinya, sangat penting bagimu untuk menyembunyikan siapa dirimu sebenarnya. Panggilan itu membuatku merasa seperti penyelundup. Padahal, aku tahu kau tidak sengaja, tetapi aku tidak mematikannya. Lalu, kau tidak menjawabku sama sekali. Aku takut kalau sesuatu terjadi padamu karena itu." 

OVERSPACETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang