other side of him - Sirius Black

210 10 1
                                    

Sejak meninggalnya mama di tengah liburan musim panas kemarin, gue jadi orang yang was-was. Kalau sebelumnya gue ngga bakal ragu untuk jawab pertanyaan dari guru, sekarang ditunjuk aja hampir bikin jantung berhenti. Ngelakuin hal yang gue suka juga susah, misal baca buku, rasanya ada sesuatu yang nahan aja.

Semua orang ngira seorang Ravenclaw pinter menemukan solusi dari suatu masalah, tapi sekarang dimana kepinteran yang harusnya gue punya?

Setiap malam jadwal gue sama. Setelah makan malam, ngerjain tugas, beres-beres dan tiduran. Akhirnya ngga bisa tidur dan selalu diam-diam keluar menuju menara astronomi dengan buku di tangan. Lebih tepatnya kumpulan dongeng yang dulu mama suka bacain sebelum tidur. Saat udah masuk sekolah pun kadang gue masih suka dibacain untuk menenangkan diri.

Namun sekarang orang yang bacain udah ngga ada.

Jadi sekarang gue mulai untuk mengatasi duka dengan membaca sendiri.

Yah walaupun belum terlalu berhasil sih.

Walaupun gitu, daripada ngerem di asrama, mending cari angin segar, kan?

Sesampainya di menara, gue mendudukkan diri bawah pegangan balkon, kedua kaki digantungin ke kebebasan bawah. Gue menarik napas panjang, merasakan kedinginan malam yang menusuk di dada. Saat menghembuskan napas, uap putih keluar dari mulut gue. Kenapa tadi gapake jaket yang tebelan si?

Gue menatap kover buku yang gue genggam. Ngga ada gambarnya, polos warna hijau gelap dengan judul perak yang tertera di atasnya. Bagian punggung bukunya juga udah mau copot dari seringnya dibuka.

Mata gue tiba-tiba ngerasa terbakar. Segera gue menengadahkan kepala ke atas untuk menghentikan air mata yang sedang berkumpul.

Ceklek!

Kaget, otomatis gue melihat ke arah suara, buku gue pegang lebih erat.

Disana, dengan sinar bulan menerangi orang yang baru masuk tersebut bagai malaikat.

Namun, begitu gue mulai mengenali wajah dan rambut cokelat panjangnya, sebuah erangan malas keluar dari mulut gue. Dia bukan orang gue butuhin sekaraaang. Kenapa ngga Frank aja yang dateng? Ato ga diciduk Remus boleh juga dah.

"Dih, napa?" Tanya dia, nadanya sedikit tersinggung.

Gue ngga membalas pertanyaannya. Dalam hati makin merutuki diri sendiri.

Semua orang pasti kenal sama manusia bersurai panjang ini. Kata orang wajahnya tampan, tapi kalo gue liat malah bikin kesel ya. Apalagi pas dia ngomong, rasanya pengen disumpel aja tuh mulut. Dari cerita temen-temen gue yang pernah di PDKT-in dia, gue rasa udah cukup membuat gue trauma. Mending sama Regulus deh, walaupun dingin setidaknya dia ngga gombalin orang sana-sini.

Sebelum gue berdiri buat pergi, sebuah kain udah ditemplukkin ke kepala gue, disusul dengan dirinya yang mendudukkan diri di samping kiri gue. "Sama-sama," ucapnya, sambil mengambil sebatang rokok dan korek dari kantongnya.

Pas gue liat lagi kainnya, ternyata ini jubah dia. Sedetik, gue menangkap harum perapian dan firewhiskey, terus – ada sedikit bau rokok dan parfum yang wanginya mewah. Gue bisa merasakan kehangatan merambat ke seluruh tubuh, entah dari jubahnya atau perlakuannya. 

Akhirnya gue ngga jadi pergi. Salah satu hal yang buat gue lemah itu kehangatan. Dan Sirius, berhasil memberikannya.

Lemah banget sih gue.

Gue menatap ke samping, udah menyiapkan diri kalau-kalau dia mulai melontarkan gombalan. Namun, cowok itu menatap pemandangan di depannya dengan wajah yang datar sambil menyesap rokok dan menghembuskan kembali asapnya.

Ngga tahan dengan baunya, gue langsung menyomot rokok yang setengah jalan itu dan membuangnya ke bawah.

Mata Sirius mengikuti benda terkutuk itu jatuh sampai menyentuh tanah. "Bahaya kalo ngga dimatiin dulu, tau? Kalo jatuh ke hutan gimana?" Dia menatap gue dengan alis terangkat, seakan menegur anak kecil.

"Ga suka baunya. Hutannya juga ajaib elah, gabakalan kebakaran,"

Dia mengangkat bahu, "Kalo besok ada berita kebakaran hutan, salah lo berarti,"

"Kan lo yang ngerokok!"

"Iya, tapi," Sirius mulai merogoh kantongnya, kali ini sepaknya langsung dikeluarin, "Gue bakal ngabisin itu dulu baru-,"

Dengan cepat gue menepuk tangannya yang memegang sepak rokok, refleks cowok itu menjatuhkannya ke bawah mengikuti saudaranya yang pertama tadi.

Sirius menunjukkan muka tersinggung ke gue.

"What? Itu barang bisa bunuh lo, tau!"

Dia memutarkan bola matanya, "Makasih infonya," ucapnya sarkas, pandangannya kembali ke depan. Sekarang jarinya mulai memainkan cincin perak di jari kelingkingnya.

"Lo kenapa sih?"

"Maksud?"

"Lo...-" gue berusaha untuk memikirkan gimana ngejelasinnya. Sirius yang ada di samping gue bukan Sirius yang ramai dan jahil. Dia jadi dingin, pendiem, dan gampang marah, keliatan dari dadanya yang naik turun rada cepet. "...beda aja,"

"Ya, maaf gue ngga bisa memenuhi ekspetasi lo,"

"Santai aja jawabnya elah, semua orang punya masalah juga,"

Sirius terdiam. Alisnya yang tadi berkerut mulai melembut, rahangnya mulai melepaskan tegangannya. Jeda beberapa saat. "Maaf," kali ini nadanya kembali normal, tanpa sarkasme dan kemarahan. "Tadi ada-," suaranya tertahan, "Lo tau keluarga gue bisa gimana."

Semua orang tau keadaan keluarga Sirius. Tau gimana bisa berantakan banget mereka kalau ketemu lagi.

Saat tau kalau dia pindah ke rumah Potter di tahun kelima, gue kira Sirius bakal lebih bebas dan bahagia. Gue ngga mikirin kalo sampe sekarang keluarganya masih aja ngerecokin dia.

Gue ikut terdiam. Tangan gue tanpa sadar mengelus kover buku dongeng yang gue bawa untuk menenangkan diri.

Sirius menangkap gerakan gue, "Buku apa?" tanyanya.

Tanpa sadar, gue tersenyum simpul, "Dongeng," pikiran gue kembali ke masa di mana mama membacakan salah satu kisah dari buku ini dan gue yang selalu bertanya tentang hal kecil sekalipun. "Mama sering bacain ini buat nenangin gue. Jadi mungkin dengan baca sendiri gue bakal tenang." Jari-jari gue meraba judul buku, di samping gue bisa merasakan tatapan Sirius.

Rada deg-degan juga pas diliatin gitu ya.

Gue berusaha menampilkan wajah senormal mungkin, "Tapi nyatanya, gue ngga bisa buka buku ini tanpa nangis," gue membiarkan sebuah tawa ironis.

Sirius tidak menanggapi perkataan gue. Keliatannya lagi menyusun kata apa yang akan dilontarkan selanjutnya. Pas dia akhirnya membuka mulut, gue ngga nyangka-

"Boleh bacain ke gue?" suaranya bakal selembut itu.

"Hah?"

"Siapa tau bisa nenangin gue juga. Terus kalo lo nangis, kan ada gue," dia menampilkan senyum lebarnya di akhir kalimat.

"Idih."

"Ayolaah, bacaiiin," bibir bawahnya maju, ekspresi memohon yang biasanya direservasikan cowok itu untuk para guru, sekarang mengarah ke gue.

Jujur, gue ngga tau harus ngerasa apa.

"Please?" mohonnya.

Oke, udah cogan mana tau diri lagi.

Gue menggigit bibir bawa, ngga ngerti karena ngilu atau jijik. Tapi gue nyerah juga akhirnya. "Yaudah,"

Sirius bersorak kecil sambil bertepuk tangan pelan.

Malam itu, untuk pertama kalinya. Gue bisa buka buku tersebut tanpa nangis.

harry potter oneshot kindaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang